Gampang diomongin, ya. Realitanya? Nggak segampang itu. Ngelibatin nelayan dan pembudidaya ikan air tawar artinya harus ada jaminan kualitas dan distribusi yang solid.
Jangan sampai niat bagus ini malah bikin ribet di tengah jalan.
Tapi coba kita tengok Jepang atau Norwegia. Jepang punya sistem pengelolaan ikan yang cerdas, yang bisa ngatur stok, memeriksa kualitas dari nelayan sampai ke kaleng terakhir.
Lalu Norwegia, mereka udah biasa pakai konsep hub distribusi, pusat pengolahan di titik-titik strategis yang ngegabungin ikan dari berbagai tempat sebelum dikirim ke pasar (Norwegian Seafood Council, 2021).
Indonesia bisa banget belajar dari sini. Bayangin, misalnya, ada hub pengolahan ikan di Pulau Jawa buat ikan air tawar dan di kawasan timur buat ikan laut.
Dua jenis ikan ini bisa sampai dengan kualitas yang sama ke sekolah-sekolah di mana pun itu.
Sertifikasi dan Insentif? Kenapa Nggak?
Ini hal yang nggak kalah penting, standarisasi. Nelayan besar mungkin udah biasa dengan urusan kualitas dan sertifikasi.
Tapi gimana dengan pembudidaya kecil yang biasanya nggak main ke standar tinggi? Pemerintah bisa bikin program sertifikasi khusus untuk mereka.
Sertifikat itu penting banget buat jamin kualitas setiap kaleng yang nyampe ke anak-anak.
Dan, kalau bisa sertifikasi, kenapa nggak sekalian kasih insentif buat pembudidaya yang mau serius ikut standar itu?
Di Thailand ada program yang namanya One Tambon One Product (OTOP), yang ngedukung UMKM lokal buat ngehasilin produk unggulan daerah (Thailand Government Public Relations Department, 2021).