Tradisi traktiran perpisahan punya akar yang mungkin lebih dalam dari yang kita sadari.
Dalam psikologi sosial, teori "pertukaran sosial" menguraikan bahwa orang merasa terikat secara emosional dan sosial ketika ada semacam "imbal-balik"---entah dalam bentuk materi atau pengalaman.
Kembali ke masa kecil, misalnya, kita mungkin ingat momen ketika teman-teman di sekolah dasar membawa kue atau permen saat ulang tahun.
Kita yang memberi merasa lebih "dilihat" atau "diakui" ketika berbagi camilan kecil itu. Traktiran menjadi "jembatan" yang mempererat relasi, dan sedikit banyak memberikan rasa kehangatan.
Memasuki dunia kerja, tradisi berbagi ini meluas ke momen-momen khusus seperti perpisahan kantor.
Namun, dalam konteks ini, traktiran bukan lagi sekadar ucapan terima kasih yang bebas, melainkan bagian dari ritual yang lebih terstruktur.
Traktiran resign seakan telah menjadi "kode etik sosial" yang tidak diucapkan, yang beredar dari kantor ke kantor, dari generasi ke generasi.
Tapi, ada satu aspek menarik yang perlu direnungkan: apakah kebutuhan sosial kita akan koneksi benar-benar terpenuhi lewat sekotak donat atau sepiring piza? Mungkinkah traktiran ini malah menambah beban bagi mereka yang ingin pergi dengan tenang, tanpa perasaan berhutang?
Ketika Perpisahan Menjadi Pajak Sosial
Salah satu pemikiran yang mendalam mengenai kebutuhan manusia akan koneksi adalah dari filsuf dan psikolog Erich Fromm, yang menyatakan bahwa manusia, pada dasarnya, mendambakan kebersamaan yang autentik.
Dalam bukunya The Art of Loving, Fromm berpendapat bahwa cinta dan kebersamaan sejati bukanlah transaksi atau tukar-menukar materi, melainkan "kebersamaan" yang hadir tanpa syarat, tanpa mengharapkan imbalan.
Maka, apakah sebuah traktiran benar-benar mengukuhkan rasa kebersamaan itu, atau justru memberi beban bagi seseorang yang ingin berpamitan secara tulus tanpa embel-embel?