Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa Trump Menang, dan Mengapa Harris Tumbang?

7 November 2024   21:27 Diperbarui: 7 November 2024   21:51 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Donald Trump mengandalkan satu taruhan besar: bahwa kemarahannya bisa menyatu dengan kemarahan gerakan MAGA (Make America Great Again), lalu dengan Partai Republik, dan akhirnya dengan lebih dari setengah negara. Dan ternyata, taruhan itu terbayar.

Di tengah gelombang rasa frustasi jutaan orang Amerika terhadap institusi yang dirasakannya tak lagi mewakili rakyat, Trump berhasil membungkus diri sebagai suara protes, bahkan saat ia sendiri terjerat dalam institusi yang akan dikendalikannya sebagai presiden ke-47 AS (New York Times, 09/11/2024).

Tony Fabrizio, kepala jajak pendapat Trump, sudah terbiasa menghadapi segala macam badai dalam tiga kali pemilu mendampingi Trump. Namun, bahkan kali ini dia seperti bersiap menghadapi kabar buruk setelah Trump berdebat dengan Kamala Harris. 

Trump berkali-kali tergoda oleh sindiran Harris, habis waktu mengomel soal jumlah massa, hingga menyebarkan rumor tak berdasar tentang imigran. Fabrizio memprediksi bahwa media akan menghabisi Trump usai debat yang disaksikan 67 juta orang itu. Ia benar soal liputan buruk, tapi keliru soal dampaknya.

Hasil survei pertama keluar, ia kaget. Harris memang berhasil meningkatkan beberapa aspek kecil, seperti tingkat kesukaan. Tapi Trump tetap kuat, tak bergeser sedikit pun dari persaingan. "Belum pernah saya lihat yang seperti ini," kata Fabrizio dalam rapat virtual dengan para pemimpin kampanye (Washington Post, 09/11/2024).

Trump seolah kebal gravitasi politik. Segala tuduhan yang biasanya mematikan---empat dakwaan kriminal, tiga tuntutan mahal, 34 dakwaan kejahatan berat, dan berbagai pernyataan ngawur---semuanya justru memberi tambahan energi. 

Strategi Trump? Menyulut rasa kesal pendukungnya terhadap sistem yang selama ini dirasa tidak adil, merangkul mereka yang merasa terasing dari arus utama. Simbol kampanyenya? Foto mugshot dirinya yang dijadikan kaos dan gambar wajahnya berdarah setelah upaya pembunuhan yang gagal---simbol "takdir."

"Allah menyelamatkan saya untuk satu tujuan," katanya dalam pidato kemenangan. "Kita akan menjalankan misi itu bersama."

Dari sisi lain, Harris gagal menyamai sentuhan strategis ini. Dengan rating popularitas Joe Biden yang rendah sebagai beban, ia terpaksa menyesuaikan diri, tampak ragu-ragu antara mengecam Trump sebagai ancaman atau meremehkannya sebagai lelucon. 

Ia coba memposisikan diri sebagai sosok populis, menyatakan akan menekan harga pangan dan perumahan untuk rakyat biasa, sementara Trump, katanya, hanya peduli pada rekan-rekan kaya. 

Tapi pada akhirnya, pesan campuran ini tak berhasil membangun momentum. Timnya hanya punya waktu tiga bulan lebih sedikit untuk mengenalkan dirinya kembali ke publik, dan itu terlalu pendek (CNN, 10/11/2024).

Sementara Harris terus mencoba menenangkan dan menyakinkan masyarakat, Trump justru menggunakan kebebasannya dari sistem untuk langsung menyentuh aspek emosional pendukungnya. Dia dan timnya tahu betul cara menembus kebiasaan audiens yang skeptis. 

Trump menghabiskan lebih banyak waktu dengan figur-figur populer pria di media sosial, seperti komedian atau podcast yang berjiwa maskulin. 

Podcast tiga jam bersama Joe Rogan, yang ditonton lebih dari 45 juta kali, menjadi momen emasnya untuk merangkul kaum pria muda, dari latar belakang Hispanik hingga Afrika-Amerika, yang merasa frustrasi dengan keadaan ekonomi dan ideologi sayap kiri yang dianggap berlebihan.

Harris, di sisi lain, mencoba membangun kekuatan dari kalangan perempuan, dengan kisah-kisah menyentuh tentang perempuan yang mengalami darurat medis di negara bagian yang memberlakukan larangan aborsi ketat. 

Michelle Obama tampil penuh semangat untuk membela hak perempuan, bahkan ada inisiatif "catatan di kamar mandi" agar para istri mengingat bahwa suara mereka adalah rahasia. Julia Roberts merekam iklan yang menggugah perempuan untuk menggunakan suara mereka sebagai bentuk kebebasan terakhir.

Namun, Trump menolak melibatkan Nikki Haley, mantan pesaing utama dari Partai Republik, untuk merangkul suara perempuan. "Kalian tahu, tanpa masalah aborsi, perempuan itu menyukai saya," katanya ringan dalam wawancara di Fox News. Menurutnya, aborsi adalah isu yang sudah cukup berat bagi Harris tanpa perlu ia tangani (Fox News, 05/11/2024).

Langkah paling berani tim Trump mungkin muncul dalam iklan yang menyoroti dukungan Harris untuk penggunaan dana publik guna operasi transgender bagi tahanan. "Setiap tahanan transgender akan punya akses," ucap Harris dalam klip 2019 yang disertakan di iklan tersebut. 

Iklan ini bisa dibilang mengejutkan, mengingat Trump sebetulnya memimpin pada isu ekonomi dan imigrasi yang menjadi fokus utama pemilu. Tapi pesan "Kamala mendukung mereka, Trump mendukung Anda" berhasil menggugah, menciptakan resonansi kuat di kalangan pendukungnya yang melihat isu transgender sebagai ancaman terhadap nilai-nilai konservatif (Politico, 07/11/2024).

Sejak awal, Trump memahami satu prinsip sederhana: bahwa suara kemarahan bisa menyatu dalam satu perasaan kolektif, dan bahwa perasaan kolektif itulah yang akan membuat perbedaan. Pendekatannya begitu bertolak belakang dari Harris, yang terlihat terbagi antara melawan Trump sebagai ancaman, atau mengabaikannya sebagai kelucuan.

Tentu, kampanye Trump tidak sepenuhnya "cermat." Setelah kalah di pemilu paruh waktu, Trump sempat berencana mengambil posisi tegas soal aborsi. Namun setelah para penasihat memperingatkan bahwa sikap pro-larangan nasional justru bisa merusak kampanyenya di negara-negara bagian yang penting, ia memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih hati-hati. 

"Biarkan negara bagian yang memutuskan," ucapnya dalam video kampanye yang dirilis seminggu setelah pidato kontroversialnya. Ini adalah langkah yang, meskipun pragmatis, berhasil menghindari pengaruh negatif yang bisa mengancam peluangnya (Reuters, 11/11/2024).

Namun, ada satu faktor yang mungkin tak pernah diperhitungkan sepenuhnya oleh Harris dan timnya: bahwa dalam setiap pemilu, kemarahan yang dituntun sering kali jauh lebih kuat daripada rasionalitas yang dididik. Trump tidak hanya memenangkan suara, tapi ia juga memenangkan hati mereka yang merasa tidak terwakili.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun