Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Amerika di Persimpangan, Pilihan Perilous untuk Masa Depan

7 November 2024   18:21 Diperbarui: 7 November 2024   21:51 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Amerika Serikat, yang dulu disebut-sebut sebagai mercusuar demokrasi, kini berada di ambang sebuah persimpangan yang penuh risiko. Rakyatnya telah membuat pilihan yang mengguncang dunia: mereka mengembalikan Donald Trump ke Gedung Putih. 

Ini adalah keputusan yang tidak hanya membuka jalan baru tetapi juga membawa tantangan besar yang tak seorang pun bisa memprediksi ujungnya dengan pasti.

Para pendiri Amerika tahu bahwa suatu hari, bangsa ini mungkin akan memilih seorang pemimpin dengan kecenderungan otoriter. Mereka mempersiapkan fondasi untuk menghadapi ancaman seperti ini, mengukuhkan kekuatan dalam Konstitusi yang memungkinkan dua cabang pemerintahan lainnya berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan seorang presiden. 

Mereka juga memberikan hak-hak yang berharga kepada rakyat---seperti Amandemen Pertama yang menjamin kebebasan berkumpul, berbicara, dan memprotes tindakan pemerintah.

Empat tahun ke depan akan menjadi masa ujian berat. Seluruh rakyat Amerika perlu memiliki mata yang terbuka lebar dan siap untuk menggunakan hak-hak mereka dalam membela negara, melindungi hukum, dan menjaga nilai-nilai yang telah membuat negara ini bertahan selama dua setengah abad.

Mengapa begitu banyak warga Amerika memilih kembali Trump? Bahkan beberapa pendukung setianya mengakui bahwa karakter dan rekam jejaknya tidak sempurna. 

Mereka melihatnya sebagai sosok yang mungkin bisa membawa perubahan nyata---menurunkan harga, membendung arus imigran, dan menutup celah di perbatasan selatan. 

Mungkin, sebagian dari mereka tergerak oleh ketidakpuasan mendalam terhadap status quo, atau rasa frustasi dengan kondisi lembaga-lembaga negara yang dianggap tidak responsif.

Terlepas dari alasan-alasan tersebut, saat ini, seluruh rakyat Amerika perlu waspada. Ada tanda-tanda kuat bahwa pemerintahan Trump akan berfokus pada upaya untuk memperluas kekuasaan tanpa batas dan membalas dendam terhadap musuh-musuhnya. 

Dia telah berulang kali berjanji untuk melakukan hal-hal tersebut. Di titik ini, tak ada lagi ilusi tentang siapa Trump sebenarnya atau bagaimana ia akan memimpin. 

Dalam masa jabatan pertamanya, ia sudah menunjukkan bahwa dirinya tidak menghormati hukum, apalagi norma dan nilai-nilai demokrasi.

Sejarah panjang Amerika telah membuktikan bahwa bangsa ini punya cara untuk bangkit dari tantangan berat. Ketika Trump sebelumnya menyerang institusi negara, struktur pemerintahan yang telah dibangun dan dipertahankan selama hampir 250 tahun tetap kokoh berdiri. 

Rakyat Amerika tahu cara menghadapi tindakan Trump yang dianggap tidak adil, tak bermoral, atau bahkan ilegal. Para pegawai negeri, anggota Kongres, bahkan rekan-rekannya sendiri dari partai sering kali berdiri di jalan yang berseberangan dengannya.

Trump dan gerakannya kini telah merasuki tubuh Partai Republik. Namun, ada satu hal penting yang perlu diingat: Trump tidak bisa mencalonkan diri lagi setelah masa jabatan ini berakhir. Sejak hari pertama dia duduk di kursi presiden, statusnya sebenarnya sudah seperti "presiden sementara." 

Konstitusi membatasinya hanya pada dua masa jabatan. Artinya, Kongres---terutama mereka yang mungkin merasa terdorong oleh ambisi politik---memiliki kekuatan untuk mengarahkan negara ke jalur yang lebih demokratis.

Di seluruh negeri, para gubernur dan legislatif telah melindungi hak-hak dan kebebasan sipil, termasuk akses terhadap layanan kesehatan reproduksi dan perawatan afirmasi gender. Bahkan negara-negara bagian yang mayoritas warganya memilih Trump, seperti Kentucky dan Ohio, menolak pandangan ekstrem mengenai isu-isu tertentu, seperti aborsi.

Bagi Partai Demokrat, ini saatnya berefleksi. Menghadapi pemerintahan Trump dengan hanya bertahan dari belakang tak akan cukup. Mereka perlu melakukan introspeksi mengapa kalah dalam pemilu kali ini. Barangkali mereka terlambat menyadari bahwa rakyat tidak lagi mempercayai Biden untuk satu periode lagi. 

Mungkin juga mereka gagal menyusun pesan yang meyakinkan bagi rakyat---baik yang loyal maupun yang skeptis---hingga akhirnya membuat pemilih cenderung memilih sosok yang lebih "disruptif," meski mereka tahu ada kelemahan besar dalam karakter tersebut.

Tugas besar menanti Kongres yang baru. Trump telah berjanji untuk mengisi kabinetnya dengan orang-orang yang loyal dan siap menuruti semua keinginannya. Namun, Presiden tetap membutuhkan persetujuan Senat untuk banyak penunjukan tersebut. 

Senat dapat dan seharusnya menyaring calon-calon yang ekstrem atau tidak memenuhi syarat untuk duduk di kursi kabinet, seperti Menteri Pertahanan dan Jaksa Agung, serta jabatan di Mahkamah Agung. Dalam masa jabatannya sebelumnya, Senat berhasil menolak beberapa calon yang tidak layak, dan ini bisa menjadi pedoman penting untuk masa mendatang.

Tanggung jawab terbesar mungkin justru berada di pundak mereka yang akan menjadi bagian dari pemerintahan Trump yang baru. Mereka harus sadar bahwa pada suatu titik, Trump bisa saja meminta mereka untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum atau sumpah setia kepada Konstitusi---sebagaimana yang ia lakukan pada masa jabatan pertamanya. 

Mereka harus ingat bahwa loyalitas pertama mereka adalah kepada negara, bukan kepada seorang individu. Berdiri melawan Trump bukanlah hal mustahil, dan adalah kewajiban setiap pelayan publik Amerika untuk menolak jika perintah itu melanggar hukum.

Namun, tanggung jawab akhir tetap berada di tangan rakyat Amerika. Mereka yang mendukung Trump di pemilu kali ini harus mengamati dengan cermat apakah tindakannya sebagai presiden sesuai dengan harapan mereka. 

Jika tidak, mereka memiliki kekuatan untuk menyampaikan kekecewaan mereka melalui pemilu paruh waktu di 2026 dan pemilu presiden di 2028. Mereka yang menentangnya tidak boleh ragu untuk bersuara ketika Trump melampaui batas kewenangannya, dan jika ia mencoba menggunakan kekuasaan untuk membalas dendam kepada para pengkritiknya, dunia akan melihatnya.

Benjamin Franklin pernah berkata bahwa bangsa ini adalah sebuah "republik, jika Anda bisa menjaganya." Pemilihan Trump memang menimbulkan ancaman serius bagi republik ini, tetapi nasib jangka panjang demokrasi Amerika bukanlah di tangannya. Masa depan itu tetap berada di tangan rakyat Amerika. Empat tahun ke depan akan menjadi ujian bagi semua orang di negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun