Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Amerika di Persimpangan, Pilihan Perilous untuk Masa Depan

7 November 2024   18:21 Diperbarui: 7 November 2024   21:51 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam masa jabatan pertamanya, ia sudah menunjukkan bahwa dirinya tidak menghormati hukum, apalagi norma dan nilai-nilai demokrasi.

Sejarah panjang Amerika telah membuktikan bahwa bangsa ini punya cara untuk bangkit dari tantangan berat. Ketika Trump sebelumnya menyerang institusi negara, struktur pemerintahan yang telah dibangun dan dipertahankan selama hampir 250 tahun tetap kokoh berdiri. 

Rakyat Amerika tahu cara menghadapi tindakan Trump yang dianggap tidak adil, tak bermoral, atau bahkan ilegal. Para pegawai negeri, anggota Kongres, bahkan rekan-rekannya sendiri dari partai sering kali berdiri di jalan yang berseberangan dengannya.

Trump dan gerakannya kini telah merasuki tubuh Partai Republik. Namun, ada satu hal penting yang perlu diingat: Trump tidak bisa mencalonkan diri lagi setelah masa jabatan ini berakhir. Sejak hari pertama dia duduk di kursi presiden, statusnya sebenarnya sudah seperti "presiden sementara." 

Konstitusi membatasinya hanya pada dua masa jabatan. Artinya, Kongres---terutama mereka yang mungkin merasa terdorong oleh ambisi politik---memiliki kekuatan untuk mengarahkan negara ke jalur yang lebih demokratis.

Di seluruh negeri, para gubernur dan legislatif telah melindungi hak-hak dan kebebasan sipil, termasuk akses terhadap layanan kesehatan reproduksi dan perawatan afirmasi gender. Bahkan negara-negara bagian yang mayoritas warganya memilih Trump, seperti Kentucky dan Ohio, menolak pandangan ekstrem mengenai isu-isu tertentu, seperti aborsi.

Bagi Partai Demokrat, ini saatnya berefleksi. Menghadapi pemerintahan Trump dengan hanya bertahan dari belakang tak akan cukup. Mereka perlu melakukan introspeksi mengapa kalah dalam pemilu kali ini. Barangkali mereka terlambat menyadari bahwa rakyat tidak lagi mempercayai Biden untuk satu periode lagi. 

Mungkin juga mereka gagal menyusun pesan yang meyakinkan bagi rakyat---baik yang loyal maupun yang skeptis---hingga akhirnya membuat pemilih cenderung memilih sosok yang lebih "disruptif," meski mereka tahu ada kelemahan besar dalam karakter tersebut.

Tugas besar menanti Kongres yang baru. Trump telah berjanji untuk mengisi kabinetnya dengan orang-orang yang loyal dan siap menuruti semua keinginannya. Namun, Presiden tetap membutuhkan persetujuan Senat untuk banyak penunjukan tersebut. 

Senat dapat dan seharusnya menyaring calon-calon yang ekstrem atau tidak memenuhi syarat untuk duduk di kursi kabinet, seperti Menteri Pertahanan dan Jaksa Agung, serta jabatan di Mahkamah Agung. Dalam masa jabatannya sebelumnya, Senat berhasil menolak beberapa calon yang tidak layak, dan ini bisa menjadi pedoman penting untuk masa mendatang.

Tanggung jawab terbesar mungkin justru berada di pundak mereka yang akan menjadi bagian dari pemerintahan Trump yang baru. Mereka harus sadar bahwa pada suatu titik, Trump bisa saja meminta mereka untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum atau sumpah setia kepada Konstitusi---sebagaimana yang ia lakukan pada masa jabatan pertamanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun