Menjadi penulis adalah permainan teka-teki yang rumit.
Sering kali kita terpapar dengan nasihat klise di kalangan penulis pemula: "Pelajari tulisan-tulisan yang sering dimuat di media, pahami gaya redaktur, dan jangan pernah menyerah."
Secara teori, nasihat ini terdengar menjanjikan. Namun, ketika kita benar-benar mencoba menerapkannya, rasanya seperti berharap viral di media sosial tanpa satu pun unggahan yang mencolok. Berani mencoba, tapi hasilnya sering tak terduga.
Pertanyaan klasik "Gimana sih cara nembus media?" telah berulang kali diajukan dari generasi ke generasi.
Para penulis muda sering kali merasa bahwa karya mereka seperti konten yang tak kunjung viral di TikTok.
Bukan karena karyanya buruk, tetapi karena selera redaktur sering sulit dipahami.
Mari kita telusuri lebih dalam, apakah semua ini hanya soal selera, atau ada rahasia tersembunyi yang belum terungkap?
Kolom Sastra: Arena Pertarungan Penulis
Sebelum media sosial menguasai dunia, sastra koran mingguan adalah panggung bergengsi bagi para penulis.
Setiap akhir pekan, para penulis akan menunggu dengan harapan melihat nama mereka tercetak di kolom sastra.
Bagi sebagian, ini seperti momen "tagar FYP" di TikTok---menjadi sorotan, meski hanya sesaat.