Ada penulis yang menunggu sambil minum kopi, berharap namanya muncul, namun ada juga yang langsung kecewa saat tak menemukan karyanya.
Rasanya seperti memancing di kolam tanpa ikan---terus melempar umpan, tapi tak ada yang menyambar.
Para penulis yang gigih ini layaknya peserta dalam kontes bakat, dengan pena dan imajinasi sebagai modal utamanya.
Mereka mengirimkan karya berulang kali, ditolak berkali-kali, dan tetap mencoba. Dalam setiap penolakan, mereka belajar---meski sering kali hasilnya hanya tebak-tebakan.
Walaupun kerap gagal, mereka terus berjuang demi sedikit pengakuan dan mungkin, sedikit honor yang cukup untuk menambah tabungan kecil mereka.
Redaktur, Juri, dan Penilaian yang Misterius
Mari kita bayangkan dunia seni sejenak. Penilaian dalam seni jauh lebih abstrak dibandingkan bidang lain.
Seandainya pelari tercepat dinilai bukan dari kecepatannya, tetapi dari "gaya lari" atau "ekspresi wajah" saat melintasi garis akhir, bukankah itu akan terasa aneh?
Di bidang seni, pemenang sering ditentukan oleh selera dan preferensi. Demikian juga, karya sastra yang dimuat bukan selalu karena kualitasnya yang terbaik, melainkan karena sesuai dengan selera redaktur.
Jadi, apakah benar penilaian redaktur itu subjektif? Tentu saja. Setiap redaktur memiliki gaya dan kecenderungan tersendiri.
Tulisan yang dimuat sering kali bukan yang paling inovatif, melainkan yang dianggap "aman"---mudah diterima pembaca tanpa harus memeras pikiran.
Pada akhirnya, para redaktur lebih memilih karya yang bisa dinikmati sambil bersantai, tanpa membuat pembaca merenung terlalu dalam.