Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Nasib Tulisan di Meja Redaktur: Trik, Selera, atau Keberuntungan?

5 November 2024   11:03 Diperbarui: 5 November 2024   11:14 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi penulis adalah permainan teka-teki yang rumit.

Sering kali kita terpapar dengan nasihat klise di kalangan penulis pemula: "Pelajari tulisan-tulisan yang sering dimuat di media, pahami gaya redaktur, dan jangan pernah menyerah."

Secara teori, nasihat ini terdengar menjanjikan. Namun, ketika kita benar-benar mencoba menerapkannya, rasanya seperti berharap viral di media sosial tanpa satu pun unggahan yang mencolok. Berani mencoba, tapi hasilnya sering tak terduga.

Pertanyaan klasik "Gimana sih cara nembus media?" telah berulang kali diajukan dari generasi ke generasi.

Para penulis muda sering kali merasa bahwa karya mereka seperti konten yang tak kunjung viral di TikTok.

Bukan karena karyanya buruk, tetapi karena selera redaktur sering sulit dipahami.

Mari kita telusuri lebih dalam, apakah semua ini hanya soal selera, atau ada rahasia tersembunyi yang belum terungkap?

Kolom Sastra: Arena Pertarungan Penulis

Sebelum media sosial menguasai dunia, sastra koran mingguan adalah panggung bergengsi bagi para penulis.

Setiap akhir pekan, para penulis akan menunggu dengan harapan melihat nama mereka tercetak di kolom sastra.

Bagi sebagian, ini seperti momen "tagar FYP" di TikTok---menjadi sorotan, meski hanya sesaat.

Ada penulis yang menunggu sambil minum kopi, berharap namanya muncul, namun ada juga yang langsung kecewa saat tak menemukan karyanya.

Rasanya seperti memancing di kolam tanpa ikan---terus melempar umpan, tapi tak ada yang menyambar.

Para penulis yang gigih ini layaknya peserta dalam kontes bakat, dengan pena dan imajinasi sebagai modal utamanya.

Mereka mengirimkan karya berulang kali, ditolak berkali-kali, dan tetap mencoba. Dalam setiap penolakan, mereka belajar---meski sering kali hasilnya hanya tebak-tebakan.

Walaupun kerap gagal, mereka terus berjuang demi sedikit pengakuan dan mungkin, sedikit honor yang cukup untuk menambah tabungan kecil mereka.

Redaktur, Juri, dan Penilaian yang Misterius

Mari kita bayangkan dunia seni sejenak. Penilaian dalam seni jauh lebih abstrak dibandingkan bidang lain.

Seandainya pelari tercepat dinilai bukan dari kecepatannya, tetapi dari "gaya lari" atau "ekspresi wajah" saat melintasi garis akhir, bukankah itu akan terasa aneh?

Di bidang seni, pemenang sering ditentukan oleh selera dan preferensi. Demikian juga, karya sastra yang dimuat bukan selalu karena kualitasnya yang terbaik, melainkan karena sesuai dengan selera redaktur.

Jadi, apakah benar penilaian redaktur itu subjektif? Tentu saja. Setiap redaktur memiliki gaya dan kecenderungan tersendiri.

Tulisan yang dimuat sering kali bukan yang paling inovatif, melainkan yang dianggap "aman"---mudah diterima pembaca tanpa harus memeras pikiran.

Pada akhirnya, para redaktur lebih memilih karya yang bisa dinikmati sambil bersantai, tanpa membuat pembaca merenung terlalu dalam.

Pilihan Sulit: Menyesuaikan Diri atau Tetap Setia pada Gaya Sendiri?

Di sinilah dilema muncul bagi para penulis. Haruskah kita menyesuaikan diri dengan selera redaktur atau tetap setia pada gaya kita sendiri?

Bagi banyak penulis, terutama mereka yang menulis dari hati, menulis adalah panggilan jiwa.

Namun, tak sedikit juga yang menginginkan eksistensi dan mungkin merasa perlu "menjinakkan" karya mereka agar sesuai dengan selera redaktur.

Seolah seperti mengikuti tren media sosial, penulis terkadang harus "membunglon" demi adaptasi. Jika redaktur menyukai cerita realis, penulis akan menyesuaikan diri.

Jika gaya bahasa yang ringan lebih disukai, mereka berusaha untuk bersikap lebih santai dalam tulisan. Apakah ini berarti mereka mengorbankan jati diri mereka?

Mungkin saja. Namun, bagi sebagian orang, menulis adalah cara untuk mendapatkan pengakuan, dan kadang kala ini berarti menyesuaikan karya dengan tren saat ini.

Mirip seperti konten yang sengaja dibuat demi "klik," terkadang kita menulis bukan untuk menyampaikan isi hati, melainkan untuk memenuhi ekspektasi pembaca dan redaktur.

Menjadi "Penulis Serba Bisa" di Kolom Sastra

Menjadi penulis di kolom sastra bisa diibaratkan seperti menjadi "content creator." Kita harus siap tampil dengan gaya yang diinginkan, siap dipuji, atau bahkan dikritik.

Setiap karya yang kita kirim adalah harapan, setiap hari Minggu yang tiba adalah tantangan baru. Kita tahu bahwa sastra seharusnya jujur, namun sering kali kita juga tahu bahwa kejujuran dapat menyakitkan.

Lebih mudah menulis cerita cinta klise yang pasrah, daripada mencoba sesuatu yang lebih dalam dan absurd yang mungkin hanya kita sendiri yang menghargai.

Para penulis idealis mungkin berkata, "Saya tidak peduli media, saya hanya peduli keindahan." Ini adalah jalan mereka---jalan yang tidak semua orang berani tempuh.

Namun, ada juga yang berkata, "Yang penting eksposur!" Mereka ini lebih peduli pada eksposur dan pengakuan publik daripada isi tulisan itu sendiri. Mana yang benar? Tidak ada yang salah atau benar; ini semua adalah soal pilihan.

Realita yang Lucu tapi Menyakitkan

Akhirnya, semuanya kembali pada pilihan kita masing-masing. Di dunia yang serba tidak pasti ini, menjadi seniman adalah pilihan yang paling tidak pasti.

Menulis dari hati itu hebat, tetapi tidak semua orang sanggup bertahan dalam kerasnya dunia ini. Kita tahu bahwa karya kita mungkin tidak cocok untuk media tertentu, namun tetap saja kita mengirimnya dengan sedikit harapan.

Persis seperti mengunggah video ke media sosial, berharap mencapai halaman "FYP" meskipun algoritma tampaknya tidak berpihak.

Ada kisah tentang penulis yang gigih, yang terus mengirim naskah tanpa putus asa. Mereka ini seperti generasi konten kreator yang terus mencoba, meski tahu kontennya mungkin tidak akan viral.

Mereka terus berusaha, sama seperti kita yang tidak pernah kapok membuat konten meski algoritma tampak tidak adil.

Dan akhirnya? Mungkin ada sebagian dari mereka yang berhasil; tapi tak sedikit juga yang berakhir dengan tumpukan naskah yang tak kunjung diterima---mungkin untuk selamanya.

Kesimpulan: Dunia Sastra yang Tak Pasti Tapi Menghibur

Jika ada yang bertanya, "Bagaimana cara tembus media atau menang lomba?" mungkin jawaban paling jujur adalah: tidak ada cara pasti.

Kita harus memilih jalan kita sendiri, antara menyesuaikan diri dengan redaktur atau setia pada diri sendiri. Dunia sastra itu rumit, penuh ketidakpastian, tetapi di sanalah letak daya tariknya.

Seperti kita mengunggah konten ke media sosial, berharap menemukan tempat atau apresiasi, kita pun terus menulis, mengirim, dan berharap suatu saat karya kita mendapatkan tempatnya.

Jadi, meskipun jalannya berliku, mari kita nikmati perjalanan ini---karena pada akhirnya, menulis adalah tentang menemukan suara kita sendiri di tengah riuh rendah dunia yang penuh ekspektasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun