Di sinilah dilema muncul bagi para penulis. Haruskah kita menyesuaikan diri dengan selera redaktur atau tetap setia pada gaya kita sendiri?
Bagi banyak penulis, terutama mereka yang menulis dari hati, menulis adalah panggilan jiwa.
Namun, tak sedikit juga yang menginginkan eksistensi dan mungkin merasa perlu "menjinakkan" karya mereka agar sesuai dengan selera redaktur.
Seolah seperti mengikuti tren media sosial, penulis terkadang harus "membunglon" demi adaptasi. Jika redaktur menyukai cerita realis, penulis akan menyesuaikan diri.
Jika gaya bahasa yang ringan lebih disukai, mereka berusaha untuk bersikap lebih santai dalam tulisan. Apakah ini berarti mereka mengorbankan jati diri mereka?
Mungkin saja. Namun, bagi sebagian orang, menulis adalah cara untuk mendapatkan pengakuan, dan kadang kala ini berarti menyesuaikan karya dengan tren saat ini.
Mirip seperti konten yang sengaja dibuat demi "klik," terkadang kita menulis bukan untuk menyampaikan isi hati, melainkan untuk memenuhi ekspektasi pembaca dan redaktur.
Menjadi "Penulis Serba Bisa" di Kolom Sastra
Menjadi penulis di kolom sastra bisa diibaratkan seperti menjadi "content creator." Kita harus siap tampil dengan gaya yang diinginkan, siap dipuji, atau bahkan dikritik.
Setiap karya yang kita kirim adalah harapan, setiap hari Minggu yang tiba adalah tantangan baru. Kita tahu bahwa sastra seharusnya jujur, namun sering kali kita juga tahu bahwa kejujuran dapat menyakitkan.
Lebih mudah menulis cerita cinta klise yang pasrah, daripada mencoba sesuatu yang lebih dalam dan absurd yang mungkin hanya kita sendiri yang menghargai.
Para penulis idealis mungkin berkata, "Saya tidak peduli media, saya hanya peduli keindahan." Ini adalah jalan mereka---jalan yang tidak semua orang berani tempuh.