Kehampaan yang Tak Terucap
Alya menyusuri jalan setapak menuju rumah. Daun-daun kering menyelip di antara langkahnya, menyentuh ujung-ujung sandal yang sudah sedikit aus. Angin sore terasa lekat, menguapkan aroma tanah basah dari sisa hujan yang menggenang di sudut halaman.
Rumahnya, berdiri kokoh, namun sepi, nyaris seperti ruang hampa yang menelan suara langkah. Ada suara samar-samar dari televisi di ruang tamu. Ia tahu Rian pasti sedang duduk di sofa, membiarkan pikirannya tersesat dalam berita atau dokumenter yang tak menarik. Begitu ia membuka pintu, bau kopi pekat menyeruak. Kopi yang masih tersisa di atas meja, satu-satunya tanda bahwa hari ini ada aktivitas di rumah itu.
Sepuluh tahun berlalu sejak ia dan Rian menempati rumah itu bersama, sejak hari-hari yang dipenuhi obrolan antusias dan janji-janji kecil tentang kehidupan yang akan mereka bangun. Waktu berlalu seperti air mengalir, membawa pergi bayangan tentang anak-anak yang berlarian di halaman atau kursi makan yang dikelilingi tawa riang. Sekarang, setiap kali ia memandang sudut ruangan, yang tersisa hanyalah kursi-kursi kosong, dan keheningan yang berlipat-lipat.
Malam ini, keheningan itu tampak semakin nyata. Alya duduk di sofa, hanya beberapa sentimeter dari Rian, tapi terasa seolah ada jarak ribuan kilometer di antara mereka. Rian menoleh sejenak, bertanya dengan lirih, "Bagaimana pertemuan tadi?"
Pertemuan yang ia maksud adalah arisan keluarga di rumah kakak Alya, acara yang sudah rutin digelar tiap bulan. Alya berusaha menahan napas sebelum menjawab, seakan takut kata-katanya akan mengguncang ketenangan yang rapuh di antara mereka. "Biasa saja," jawabnya akhirnya, singkat, kosong, tak berusaha membuka cerita lebih jauh.
Mereka sama-sama tahu bahwa kata-kata bisa menjadi bom waktu, dan siapa pun yang berbicara lebih dulu mungkin akan merusak keseimbangan yang sudah begitu tipis. Dalam hati, Alya merasakan kekosongan yang semakin meresap, tak dapat diisi oleh percakapan apapun, seolah-olah kata-kata hanyalah ilusi.
***
Alya ingat hari itu, sekitar tiga tahun setelah pernikahan mereka, saat ia pertama kali mulai merasa ada yang berbeda. Seorang teman dekatnya, Mira, datang dengan wajah cerah, membawa kabar bahwa ia hamil anak pertamanya. Alya menyambut berita itu dengan senyum lebar, pelukan hangat, dan kata-kata selamat yang penuh keriangan. Namun, begitu Mira pergi, sesuatu terasa hilang. Sesuatu yang Alya sendiri tidak tahu apa, hanya ada rasa sunyi yang muncul tanpa alasan, seperti angin dingin yang tiba-tiba menyusup di tengah hari yang cerah.
Sejak saat itu, setiap pertemuan dengan keluarga atau teman terasa seperti ujian. Setiap ucapan selamat yang ia ucapkan, setiap kali ia menggendong bayi orang lain, ada perasaan yang diam-diam menggerogoti, meninggalkan jejak samar dalam hatinya, seperti garis-garis tipis yang nyaris tak terlihat, tapi terus bertambah, sedikit demi sedikit.
Saat ia akhirnya berbicara pada Rian tentang keinginannya memiliki anak, ia berharap suaminya akan merespon dengan semangat yang sama. Namun, Rian hanya memandangnya, mengangguk dengan tenang, dan berkata, "Kita bisa mencoba, tapi aku tidak ingin kamu merasa terbebani." Kata-kata itu, meski lembut, meninggalkan kesan yang aneh pada Alya. Seakan Rian menerima, tapi tak sepenuhnya terlibat. Dan sejak saat itu, keinginan Alya tumbuh, sementara Rian tetap tenang, tak beranjak, seperti batu besar di tengah sungai yang deras.