Omnibus Law atau UU Cipta Kerja (UU Ciptaker) memang dari awal sudah jadi buah bibir.Â
Pasalnya, UU yang niatnya mau "menarik investor biar ekonomi makin maju" ini malah dianggap ngawur sama banyak orang, termasuk mahasiswa, buruh, aktivis, sampai akademisi.Â
Pemerintah sih ngotot bahwa UU Ciptaker ini akan bikin lapangan kerja lebih banyak, tapi, kalau kita tengok masalah yang muncul, ya, lain cerita!
Nah, setelah banyak yang protes, dibawalah UU Ciptaker ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diuji materi. Buat yang belum akrab, uji materi itu semacam "tes ulang" buat UU, apakah isinya sudah sesuai dengan konstitusi atau nggak.Â
Hasilnya? MK memang bikin beberapa perubahan dan perbaikan, tapi keputusan ini juga bikin banyak orang geleng-geleng. Kok bisa begitu? Yuk, kita bahas.
Cacat Hukum yang Nggak Main-main
Mari kita lihat salah satu "cacat hukum" paling viral dari UU Cipta Kerja ini: Pasal 170. Di pasal ini, pemerintah dikasih wewenang buat ngubah UU pake peraturan pemerintah (PP). Hah? Serius? Jadi, UU yang udah disahkan DPR bisa diutak-atik cuma pake PP?
Dalam ilmu hukum, ini jelas pelanggaran serius. Ada yang namanya asas lex superior derogat legi inferior (hayo siapa yang kuliah hukum dan pernah dengar ini pas semester awal?).Â
Intinya, peraturan yang lebih rendah, kayak PP, nggak boleh main ubah peraturan yang lebih tinggi, dalam hal ini UU. Ini bukan cuma soal aturan, tapi soal tatanan hukum Indonesia yang dibangun dengan jenjang-jenjang aturan.
Para ahli hukum, bahkan Komnas HAM, ramai-ramai bilang kalau ini nggak bisa dibiarkan. Bayangkan kalau setiap UU bisa diubah sesuka hati pemerintah pake PP, bisa kacau balau tata hukum kita. Ini kayak nge-bypass DPR dan menghilangkan mekanisme checks and balances. Anehnya, pemerintah malah ngotot jalan terus.
Omnibus Law: Niat Baik, Tapi Eksekusi Bikin Banyak yang Tersakiti
UU Ciptaker ini emang niatnya buat memudahkan investasi dan menciptakan lapangan kerja. Nggak salah sih tujuannya, tapi kok cara-caranya yang bikin banyak orang nyinyir. Coba aja lihat beberapa poin yang bikin pusing kepala:
1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) -- UU ini ngasih ruang buat kontrak kerja yang lebih lama, bahkan bisa sampai lima tahun. Jadi, bayangin aja, pekerja bisa terjebak dalam kontrak terus-terusan, tanpa kepastian buat diangkat jadi pegawai tetap. Banyak yang khawatir kalau ini bakal bikin pekerja selalu "karyawan kontrak" tanpa jaminan di masa depan.
2. Outsourcing Semakin Marak --Â UU ini juga ngasih kebebasan buat outsourcing berbagai posisi. Artinya, lebih banyak posisi kerja yang bisa dikerjakan oleh pekerja alih daya (outsourcing), yang tentu saja punya perlindungan kerja yang beda dengan pegawai tetap. Jadi, makin banyak posisi yang rentan kena PHK dan punya hak lebih sedikit.
3. Upah Minimum -- Salah satu isu yang hangat adalah soal penentuan upah minimum yang dianggap terlalu "pro-bos". Karena, dalam UU Ciptaker, perusahaan bisa menentukan upah minimum berdasarkan kemampuan dan produktivitas. Bagi banyak pekerja, ini artinya kesejahteraan bisa terabaikan kalau perusahaan ngotot nggak bisa bayar lebih tinggi.
Apa Kata Mahkamah Konstitusi?
Setelah didesak berbagai pihak, MK akhirnya turun tangan buat menguji UU Ciptaker ini. Putusannya cukup menarik, karena meskipun MK menyatakan UU ini "inkonstitusional bersyarat", mereka nggak membatalkannya. Jadi, UU ini masih berlaku, tapi dengan beberapa "catatan" penting yang harus diperhatikan pemerintah.
Contohnya, MK ngasih arahan soal pengupahan. Dalam putusannya, mereka meminta pemerintah melibatkan dewan pengupahan daerah untuk penetapan upah minimum, supaya keputusan ini lebih relevan dengan kondisi daerah masing-masing.Â
Selain itu, MK juga menegaskan bahwa pekerja kontrak harus mendapat hak-hak dasar yang sama dengan pekerja tetap, meski status mereka berbeda.
Selain soal upah, MK juga mengarahkan agar ketentuan outsourcing diatur lebih ketat. Harus ada perjanjian kerja yang jelas dan tertulis, supaya pekerja punya perlindungan hukum yang lebih pasti. Walau begitu, bagi banyak pihak, ini masih kurang.Â
Kalau UU Ciptaker tetap memperbolehkan outsourcing besar-besaran, artinya ketidakpastian kerja masih bakal jadi masalah buat banyak orang.
PHK Lebih Mudah? Masih Jadi Momok
UU Ciptaker ini juga dianggap mempermudah proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pemerintah sih berdalih kalau ini buat "fleksibilitas tenaga kerja", tapi bagi para pekerja, ini lebih mirip ancaman.Â
Bayangkan kalau bos bisa main PHK hanya karena alasan efisiensi? Padahal, buat banyak pekerja, PHK itu bukan cuma soal kehilangan pekerjaan, tapi juga kehilangan jaminan kesehatan dan pensiun.
Putusan MK sebenernya nggak membatalkan ketentuan PHK dalam UU Ciptaker, tapi mereka meminta agar PHK harus melalui "musyawarah mufakat". Tentu, ini kedengarannya bagus.Â
Tapi di lapangan, musyawarah bisa jadi sekadar formalitas belaka, apalagi kalau ada ketimpangan kekuasaan antara perusahaan dan pekerja.
Jadi, Apakah Putusan MK Cukup?
Bagi banyak orang, putusan MK ini adalah langkah maju, tapi belum cukup. Masih ada banyak ketentuan dalam UU Ciptaker yang dianggap bisa merugikan pekerja dan bikin hukum Indonesia kacau-balau.Â
Misalnya, soal Pasal 170 yang tadi dibahas --- ketentuan bahwa PP bisa mengubah UU masih belum dibatalkan. Kalau ini dibiarkan, bisa bahaya juga buat tata hukum kita di masa depan.
Bagi masyarakat umum, yang jadi pertanyaan adalah: "Apakah UU ini benar-benar bakal memperbaiki kehidupan kita?" Karena pada akhirnya, UU ini harusnya dirasakan manfaatnya sama rakyat, bukan cuma segelintir orang atau pihak yang punya kepentingan.
Catatan Akhir: Perjuangan Belum Selesai
Putusan MK ini emang jadi angin segar, tapi jalan masih panjang. Perjuangan untuk memastikan UU Cipta Kerja ini bener-bener pro rakyat masih belum selesai.Â
Masyarakat perlu terus memantau implementasi putusan ini di lapangan. Karena, kalau enggak, UU yang seharusnya memperbaiki nasib pekerja malah bisa jadi alat buat kepentingan pihak tertentu.
Pada akhirnya, UU yang baik adalah UU yang bisa dirasakan manfaatnya oleh semua orang, terutama mereka yang suaranya sering nggak terdengar.Â
Jadi, sambil kita menunggu langkah lanjut dari pemerintah, masyarakat harus tetap kritis. Ingat, UU itu buat kita, bukan buat segelintir orang aja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H