Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Sirtex: Benang-Benang Nasib dalam Kain yang Mulai Lusuh

30 Oktober 2024   09:51 Diperbarui: 30 Oktober 2024   10:29 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi mengunjungi pabrik Sritex di Sukoharjo pada 21 April 2017. via jakartaglobe.id

Dari Pasar Klewer ke Puncak Asia Tenggara

Ada sebuah cerita dari Pasar Klewer di Solo, tempat H.M. Lukminto memulai perjalanannya. Sritex, nama yang kini mendunia, lahir dari kios kecil ini. Dulu, Lukminto hanya menjual kain.

Setiap benang yang dijual di kios itu adalah harapan dan keyakinan pada masa depan. Tak lama, ia beralih menjadi produsen. Saat itulah nama Sritex mulai tumbuh besar, terutama setelah mendapat dukungan penuh dari Orde Baru.

Pada 1992, Sritex berhasil mendirikan pabrik pertamanya yang diresmikan langsung oleh Presiden Soeharto. Dari seragam militer hingga pakaian sekolah, Sritex menjadi pemain utama dalam industri tekstil nasional.

Namun, kejayaan ini tidak berjalan tanpa harga. Kedekatan Sritex dengan kekuasaan Orde Baru memberikan akses istimewa kepada tender-tender pemerintah dan kontrak militer.

Hubungan ini, meski membawa manfaat, juga membawa beban politik yang melekat pada perusahaan. Saat angin politik berubah, banyak kontrak yang dulu bisa diandalkan pun lenyap.

Tekanan Ekonomi dan Senjakala Industri Tekstil

Pada akhir 1990-an, tekstil Indonesia mulai dicap sebagai "sunset industry." Istilah ini, yang berarti industri tak lagi menjanjikan, menjadi stigma yang melekat pada sektor tekstil dan menyebabkan banyak perbankan ragu memberikan kredit kepada pelakunya.

Tekanan lain datang dari persaingan global yang semakin ketat. China, dengan produksi murah, membanjiri pasar dunia. Harga tekstil mereka terlalu murah untuk disaingi.

Banyak produsen tekstil Indonesia, termasuk Sritex, mulai kesulitan menjaga daya saing. Pada 2021, Sritex mulai melaporkan kerugian yang terus meningkat. Laporan tahunan menunjukkan rugi bersih lebih dari 1 miliar dolar AS. Situasi ini berlanjut hingga 2024, dengan kerugian kuartal kedua mencapai 10 juta dolar AS (Fortune Indonesia, 20/10/2024; Tempo.co, 19/10/2024).

Direktur Utama Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto, menyebut bahwa perusahaan menghadapi tekanan dari barang impor murah dan penurunan permintaan ekspor.

Ini menjadi pukulan berat bagi Sritex yang selama bertahun-tahun menggantungkan hidupnya pada pasar domestik yang terlindungi.

Seiring memburuknya kinerja finansial, perusahaan berjuang dengan restrukturisasi, pengurangan kapasitas produksi, hingga merumahkan sebagian karyawan. Namun, upaya ini tidak mampu membalikkan keadaan.

Pada Oktober 2024, Pengadilan Niaga Semarang menyatakan Sritex dan tiga anak perusahaannya resmi pailit karena gagal membayar kewajiban kepada kreditur (Republika, 24/10/2024; Bisnis.com, 17/10/2024).

Janji Manis untuk Pemuda Timor Leste

Kisah Sritex juga tidak lengkap tanpa membicarakan episode kontroversial dalam sejarahnya, yaitu ketika ratusan pemuda Timor Leste diimingi pekerjaan di Jawa.

Pada 1990-an, ratusan pemuda ini dijanjikan pekerjaan dengan gaji besar. Namun, kenyataan berkata lain.

Mereka tidak dibawa ke Batam sebagaimana dijanjikan, melainkan ditempatkan di pabrik-pabrik Jawa, termasuk Sritex, dengan kondisi kerja yang keras dan upah rendah.

Pemuda-pemuda ini, yang datang dengan harapan besar, akhirnya terperangkap dalam kondisi kerja yang penuh tantangan. Mereka menghadapi ancaman fisik dan tekanan psikologis, dengan banyak dari mereka mengalami intimidasi ketika mengeluhkan kondisi mereka (Tempo, 19/10/2024).

Program ini seolah mencerminkan ironisnya industri tekstil Indonesia saat itu, yang tidak hanya digunakan sebagai mesin ekonomi tetapi juga sebagai alat politik.

Sritex, sebagai salah satu pabrik tujuan, menjadi bagian dari drama sosial-politik yang berusaha mengintegrasikan Timor Leste ke dalam Indonesia.

Namun, yang terjadi justru eksploitasi yang tersembunyi di balik janji-janji lapangan kerja dan kesejahteraan. Sebuah realitas yang akhirnya menjadi bab kelam dalam sejarah industri tekstil Indonesia.

Apakah Sritex Harus Diselamatkan?

Setelah pernyataan pailit dikeluarkan, diskusi tentang bailout pun mencuat. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menegaskan bahwa pemerintah tidak akan memberikan bailout bagi Sritex.

Menurutnya, menyelamatkan Sritex dengan dana publik tidaklah tepat di tengah keterbatasan anggaran. Namun, keputusan ini bukan tanpa risiko.

Sritex adalah penyerap tenaga kerja terbesar di sektor tekstil, dengan lebih dari 50.000 karyawan yang menggantungkan hidup pada perusahaan ini.

Pengamat industri mengingatkan, tanpa bantuan, efek domino dari kebangkrutan Sritex akan terasa di sektor tekstil secara keseluruhan.

Sritex tidak hanya perusahaan; ia adalah simbol dari ribuan pekerja yang telah mengabdikan hidup mereka untuk industri ini.

Namun, bantuan dana juga memiliki konsekuensinya sendiri. Dana publik harus digunakan secara bijak, terutama di tengah krisis yang juga menghantam sektor-sektor lainnya.

Menjemput Masa Depan dengan Pandangan yang Berbeda

Seiring berubahnya lanskap industri global, sektor tekstil Indonesia perlu membangun kembali posisinya.

Saat ini, pasar dunia terbuka untuk produk-produk berkualitas tinggi dan berkelanjutan.

Beberapa pengamat menyebut, daripada terus menganggap tekstil sebagai "sunset industry," Indonesia sebaiknya mulai mengarahkan sektor ini ke pasar yang lebih spesifik.

Misalnya, dengan memproduksi kain-kain organik atau mode ramah lingkungan yang sedang digemari di pasar internasional (Bisnis.com, 17/10/2024).

Namun, langkah ini memerlukan kebijakan yang mendukung dan investasi dalam pelatihan tenaga kerja serta peningkatan teknologi produksi.

Pemerintah, industri, dan pihak swasta harus bekerja sama untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi tekstil Indonesia.

Tanpa ini, akan sulit untuk mengembalikan kejayaan industri yang pernah menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

Sritex mungkin hanya satu nama, tetapi kisahnya adalah cermin dari perjalanan panjang dan penuh liku industri tekstil nasional.

Sebuah Pelajaran dari Sebuah Nama Besar

Masa depan tekstil Indonesia ada di tangan mereka yang berani mengubahnya, bukan pada mereka yang hanya mengandalkan kejayaan masa lalu.

Sritex adalah sebuah cerita yang memadukan ambisi, kekuatan politik, tekanan ekonomi, dan ironi dalam satu kain. Di balik setiap seragam yang diproduksi, ada cerita tentang harapan, kerja keras, dan juga kesulitan.

Saat ini, saat perusahaan ini berada di ambang kehancuran, ada banyak pelajaran yang bisa dipetik. Mungkin, di masa depan, yang dibutuhkan bukan hanya industri yang kuat, tetapi juga industri yang adil.

Sebuah industri yang dibangun dengan martabat, bukan dengan janji-janji kosong atau eksploitasi. Di balik kisah Sritex, ada pelajaran bahwa industri tekstil Indonesia masih bisa bangkit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun