Seiring memburuknya kinerja finansial, perusahaan berjuang dengan restrukturisasi, pengurangan kapasitas produksi, hingga merumahkan sebagian karyawan. Namun, upaya ini tidak mampu membalikkan keadaan.
Pada Oktober 2024, Pengadilan Niaga Semarang menyatakan Sritex dan tiga anak perusahaannya resmi pailit karena gagal membayar kewajiban kepada kreditur (Republika, 24/10/2024; Bisnis.com, 17/10/2024).
Janji Manis untuk Pemuda Timor Leste
Kisah Sritex juga tidak lengkap tanpa membicarakan episode kontroversial dalam sejarahnya, yaitu ketika ratusan pemuda Timor Leste diimingi pekerjaan di Jawa.
Pada 1990-an, ratusan pemuda ini dijanjikan pekerjaan dengan gaji besar. Namun, kenyataan berkata lain.
Mereka tidak dibawa ke Batam sebagaimana dijanjikan, melainkan ditempatkan di pabrik-pabrik Jawa, termasuk Sritex, dengan kondisi kerja yang keras dan upah rendah.
Pemuda-pemuda ini, yang datang dengan harapan besar, akhirnya terperangkap dalam kondisi kerja yang penuh tantangan. Mereka menghadapi ancaman fisik dan tekanan psikologis, dengan banyak dari mereka mengalami intimidasi ketika mengeluhkan kondisi mereka (Tempo, 19/10/2024).
Program ini seolah mencerminkan ironisnya industri tekstil Indonesia saat itu, yang tidak hanya digunakan sebagai mesin ekonomi tetapi juga sebagai alat politik.
Sritex, sebagai salah satu pabrik tujuan, menjadi bagian dari drama sosial-politik yang berusaha mengintegrasikan Timor Leste ke dalam Indonesia.
Namun, yang terjadi justru eksploitasi yang tersembunyi di balik janji-janji lapangan kerja dan kesejahteraan. Sebuah realitas yang akhirnya menjadi bab kelam dalam sejarah industri tekstil Indonesia.
Apakah Sritex Harus Diselamatkan?
Setelah pernyataan pailit dikeluarkan, diskusi tentang bailout pun mencuat. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menegaskan bahwa pemerintah tidak akan memberikan bailout bagi Sritex.
Menurutnya, menyelamatkan Sritex dengan dana publik tidaklah tepat di tengah keterbatasan anggaran. Namun, keputusan ini bukan tanpa risiko.