Banyak yang mengira pendidikan seks itu pelajaran tentang keintiman. Padahal, ini sama saja dengan menyangka kelas biologi mengajarkan cara berfotosintesis. Anak-anak tidak perlu menjadi pohon untuk memahami biologi, bukan?
Di sekolah kita, buku-buku tentang tubuh manusia masih jadi "bahan terlarang" yang dirasa bisa "menunggu nanti." Tapi, nanti itu kapan? Saat anak-anak sudah mulai mencarinya sendiri? Saat mereka sudah belajar dari Google atau TikTok?
Ironis, anak-anak kita sekarang lebih paham algoritma Instagram ketimbang batasan tubuhnya sendiri. Mereka tahu cara bikin akun YouTube sebelum mengerti apa itu consent.
Konselor sekolah, yang biasanya sibuk menangani soal pacaran remaja, merasa frustrasi. Mereka tahu anak-anak datang dengan pertanyaan-pertanyaan dasar tentang tubuh mereka, tapi institusi sering kali terdiam.
Seringkali yang keluar hanyalah instruksi singkat: "Tanya ke orang tua." Di rumah, pertanyaan itu juga kerap tenggelam.Â
Ketakutan akan informasi yang terlalu dini membuat pembicaraan ini nyaris mustahil. Ibu-ibu, bapak-bapak cemas, seolah pendidikan seks adalah pintu menuju eksperimen berbahaya.
Padahal, apakah benar bahwa pengetahuan itu yang membuat penasaran? Atau justru ketidaktahuan? Bukankah anak-anak kita hidup di era yang terbuka? Informasi, atau rumor, dapat menyusup dari mana saja---lebih cepat dan kreatif ketimbang yang bisa diajarkan di sekolah.
Pendidikan seks bukan tentang mendorong perilaku seksual; ini soal tanggung jawab. Ini tameng, perlindungan yang melindungi mereka dengan pengetahuan.
Bukan untuk mengarahkan mereka, tetapi untuk membuat mereka paham batasan yang sehat. Kita ingin anak-anak paham tubuh mereka dan tahu cara menjaganya.
Pendidikan Seks di Sekolah adalah Kompas
Banyak yang melihat pendidikan seks sebagai sesuatu yang berbahaya, tabu. Bahkan, beberapa melihatnya sebagai "tiket bebas." Apalagi ketika bicara soal remaja.