Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sin Po, Lagu Indonesia Raya, dan Kisah Satu Bahasa: Potret Patah-Patah dari Sejarah yang Terabaikan

28 Oktober 2024   10:31 Diperbarui: 28 Oktober 2024   13:23 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah catatan kecil di pojok buku harian sejarah bangsa.

28 Oktober 1928. Di sebuah rumah sederhana di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, dentingan sejarah tak henti bergema. Para pemuda, datang dari berbagai penjuru, berkumpul dengan semangat yang tak terbendung. 

Mereka berbeda bahasa, suku, dan budaya. Namun, di tengah segala perbedaan itu, ada satu tujuan yang mempersatukan: sebuah impian sederhana namun abadi --- untuk bersatu. Inilah titik awal dari sebuah gerakan yang kelak akan mengubah wajah Indonesia selamanya.

Di sana, satu sumpah diikrarkan. "Bertumpah darah satu, tanah Indonesia. Berbangsa satu, bangsa Indonesia. Berbahasa satu, bahasa Indonesia." Sebuah janji untuk bersatu. Menjadi satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa.

Di ruang yang sama, berdiri Sie Kong Liong. Nama ini jarang dikenal. Ia pemilik rumah di Kramat itu. Di tempat itu, ia menyediakan ruang. Untuk sebuah mimpi besar. 

Rumah itu kini menjadi Museum Sumpah Pemuda. Banyak yang datang ke sana. Tapi sedikit yang ingat siapa pemilik rumah itu. Padahal, ia ikut menjadi saksi sejarah.

Pada tahun 1959, pernah ada usulan. Presiden Sukarno hendak memberikan penghargaan bagi Sie Kong Liong. Ia dinilai berkontribusi dalam gerakan pemuda. Tapi, seiring waktu, nama Sie tetap tenggelam. 

Sering kali, nama kecil menghilang di balik sejarah besar. Orang-orang datang dan pergi di rumah Kramat 106 itu, tapi semangatnya tertinggal, bersembunyi di sudut-sudut yang terlupakan.

Dari para pemuda yang hadir, ada beberapa wajah Tionghoa. Ada Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, dan John Liauw Tjoan Hok. Mereka muda dan penuh mimpi. Mereka anggota kepanduan, membawa semangat patriotisme. 

Mereka datang, bukan hanya untuk bersumpah, tapi untuk berdiri bersama. Tidak ada sekat, tidak ada identitas. Semuanya lebur dalam satu tujuan: Indonesia.

Suara Sin Po: Teriakan di Tengah Senyap

Suara-suara di dalam sejarah sering kali samar. Kadang terdengar, kadang tenggelam. Salah satunya adalah suara surat kabar Sin Po.

Berbahasa Melayu-Tionghoa, Sin Po bukan sekadar surat kabar. Ia berani, lantang, dan keras kepala. Ia berbicara di saat banyak yang diam. Dan pada 10 November 1928, Sin Po membuat keputusan besar.

Pada hari itu, Sin Po memuat lagu "Indonesia Raya" karya Wage Rudolf Supratman. Lagu ini, yang kelak menjadi lagu kebangsaan Indonesia, pertama kali muncul di halaman Sin Po. Bayangkan seberani apa para jurnalisnya. 

Memuat lagu itu adalah tindakan berisiko. Di tengah aturan keras pemerintah kolonial, Sin Po dan Supratman tahu bahwa lagu ini bisa dianggap sebagai ancaman. Tapi mereka tetap melakukannya.

Kwee Kek Beng, pemimpin redaksi Sin Po, tahu bahwa lirik lagu itu bukan hanya lirik biasa. Itu adalah harapan besar. Lagu itu adalah nyala api untuk merdeka. Namun, Sin Po bukan hanya memuat lagu "Indonesia Raya." 

Sin Po menjadi perantara untuk memperkenalkan nama "Indonesia" --- bukan "Hindia Belanda." Mereka berani mengusung identitas baru, sebuah bangsa yang belum terbentuk tapi sudah dirindukan banyak orang.

Bahasa Melayu, Jembatan di Antara Kita

Pada awal abad ke-20, ada satu bahasa yang lebih dekat di hati banyak orang. Bukan bahasa Belanda, bukan bahasa Inggris. Bahasa Melayu. Bagi komunitas Tionghoa, bahasa ini adalah bahasa sehari-hari. Di sekolah-sekolah, di jalan, di rumah, bahasa Melayu menjadi alat komunikasi.

Sebuah sekolah bernama Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) berdiri di Jakarta. Di sinilah pendidikan dengan bahasa Melayu diajarkan, menggantikan bahasa Belanda. Ini bukan pilihan yang mudah. 

Pada zaman kolonial, bahasa Belanda adalah simbol status. Namun, para pendiri THHK tahu bahwa bahasa Melayu bisa menjadi alat pemersatu. 

Didi Kwartanada, seorang sejarawan, menulis bahwa THHK tidak memilih bahasa Belanda dengan alasan khusus. Bahasa Melayu lebih mudah dipahami. Lebih inklusif. Sebuah bahasa yang bisa diterima oleh semua golongan di Nusantara (Historia.id, 2018).

Bahasa Melayu tumbuh dan berkembang di bawah tangan orang-orang biasa. THHK tahu betul bahwa bahasa ini memiliki kekuatan. Bukan hanya sebagai bahasa pergaulan, tapi juga sebagai bahasa identitas. 

Etnis Tionghoa, sejak awal, sudah menjadi bagian dari arus besar yang membentuk bahasa ini. Bagi mereka, bahasa Melayu bukan sekadar bahasa. Itu adalah jembatan untuk memahami, untuk merangkul.

Dok. bacakoran.co
Dok. bacakoran.co

Layar Buku dan Puisi: Bahasa yang Terjalin dalam Sastra

Di atas kertas, tinta mulai mengalir. Sastra Melayu-Tionghoa mulai tumbuh di Nusantara. Dari novel hingga puisi, bahasa Melayu-Tionghoa melahirkan karya-karya yang mencerminkan kehidupan nyata. 

Di antara tahun 1870 hingga 1966, lebih dari 3.000 karya Melayu-Tionghoa diterbitkan. Ada novel, cerita pendek, ada juga puisi. Mereka berbicara tentang cinta, perjuangan, dan kehidupan yang sederhana.

Bahasa Melayu-Tionghoa menciptakan kata-kata baru, gaya baru. Bahasa ini menjadi alat yang memperkaya bahasa Melayu. Prof. Ahmad Syafi'i Maarif menulis bahwa kesederhanaan bahasa Melayu adalah keunggulannya. 

Bahasa ini telah menjadi lingua franca di Nusantara jauh sebelum Sumpah Pemuda. Sastra Melayu-Tionghoa memberi warna pada bahasa ini, membawa dinamika yang berbeda ke dalam kehidupan masyarakat (Kompas.com, 2018).

Penerbitan Buku sebagai Tanda Cinta pada Bahasa

Di balik setiap buku, ada tangan yang bekerja keras. Salah satunya adalah penerbit Tan Khoen Swie. Ia berasal dari Kediri, Jawa Timur.

Penerbitannya mencetak sekitar 400 buku berbahasa Melayu. Bagi Tan Khoen Swie, buku adalah cara untuk memperkenalkan bahasa kepada masyarakat luas. 

Ia melihat bahwa bahasa Melayu bisa tumbuh melalui literasi. Buku-buku berbahasa Melayu yang diterbitkannya bisa diakses lintas etnis, menyebar dari satu tangan ke tangan lain.

Dengan demikian, bahasa Melayu menjadi semakin kokoh. Ia menyebar, diterima oleh banyak orang. Bukan hanya sebagai bahasa sehari-hari, tapi sebagai bahasa untuk belajar, untuk berpikir, untuk bermimpi. 

Sejarah menunjukkan bahwa bahasa Melayu telah digunakan oleh berbagai etnis, dan itu membuatnya lebih kuat. Lebih tahan banting.

Seorang Guru, Sebuah Bahasa untuk Semua

Pada tahun 1941, Ki Hajar Dewantara berbicara tentang bahasa. Bahasa Melayu, katanya, adalah bahasa yang mudah dipahami semua golongan. Ia melihat bahasa ini sebagai bahasa yang cocok untuk menjadi bahasa nasional. 

Ki Hajar tahu bahwa bahasa bisa menyatukan. Dan dengan Kongres Pemuda II, pilihan ini semakin jelas. Bahasa Melayu dipilih bukan karena ia adalah bahasa terbesar, tapi karena ia adalah bahasa yang bisa merangkul semua orang.

Ki Hajar menyebut bahwa "bangsa dan bahasa adalah satu." Ini adalah sebuah visi, sebuah impian. Ia melihat bahasa sebagai jembatan, bukan penghalang. Dengan bahasa, ia percaya bahwa kita bisa saling memahami, bisa menjadi satu bangsa (Kompas.com, 2020).

Jejak Tionghoa dalam Bahasa Indonesia yang Kita Kenal Sekarang

Di setiap kata yang kita ucapkan, ada sejarah. Ada kisah-kisah kecil yang tersembunyi. Salah satunya adalah kontribusi etnis Tionghoa dalam membentuk bahasa Indonesia. Mereka bukan hanya menggunakan bahasa Melayu. Mereka menulis, mengajar, dan berjuang dengan bahasa ini.

Dalam setiap upacara, dalam setiap lagu Indonesia Raya yang kita nyanyikan, ada jejak mereka. Para jurnalis di Sin Po yang berani mempublikasikan lagu kebangsaan. 

Para penerbit seperti Tan Khoen Swie yang mengedarkan buku-buku berbahasa Melayu. Para pemuda Tionghoa yang bersumpah di rumah Sie Kong Liong. Semua itu adalah bagian dari sejarah bahasa kita.

Setiap kali kita mengucapkan kata "Indonesia," kita menyebut harapan yang dulu diimpikan oleh mereka. Kita membawa suara yang dulu disuarakan oleh mereka yang berjuang. Mereka adalah bagian dari bahasa kita, bagian dari sejarah kita.

Kenangan yang Harus Dijaga: Sebuah Warisan yang Tak Ternilai

Kini, pada peringatan ke-96 tahun Sumpah Pemuda, kita mengenang mereka yang pernah bermimpi besar. 

Mereka yang berkumpul di rumah kecil di Kramat 106, mereka yang menulis dan mencetak dengan penuh semangat, mereka yang berdiri untuk satu Indonesia. Di balik setiap kata yang kita ucapkan, ada jejak keberanian. Ada semangat kebersamaan.

Bahasa Indonesia adalah warisan. Warisan yang harus dijaga. Di dalam bahasa ini, ada nyala api persatuan. Di dalam setiap kata, ada kenangan yang hidup. Sebuah kenangan dari masa lalu, sebuah jembatan untuk masa depan.

Satu bangsa, satu bahasa, satu impian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun