Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sin Po, Lagu Indonesia Raya, dan Kisah Satu Bahasa: Potret Patah-Patah dari Sejarah yang Terabaikan

28 Oktober 2024   10:31 Diperbarui: 28 Oktober 2024   13:23 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara-suara di dalam sejarah sering kali samar. Kadang terdengar, kadang tenggelam. Salah satunya adalah suara surat kabar Sin Po.

Berbahasa Melayu-Tionghoa, Sin Po bukan sekadar surat kabar. Ia berani, lantang, dan keras kepala. Ia berbicara di saat banyak yang diam. Dan pada 10 November 1928, Sin Po membuat keputusan besar.

Pada hari itu, Sin Po memuat lagu "Indonesia Raya" karya Wage Rudolf Supratman. Lagu ini, yang kelak menjadi lagu kebangsaan Indonesia, pertama kali muncul di halaman Sin Po. Bayangkan seberani apa para jurnalisnya. 

Memuat lagu itu adalah tindakan berisiko. Di tengah aturan keras pemerintah kolonial, Sin Po dan Supratman tahu bahwa lagu ini bisa dianggap sebagai ancaman. Tapi mereka tetap melakukannya.

Kwee Kek Beng, pemimpin redaksi Sin Po, tahu bahwa lirik lagu itu bukan hanya lirik biasa. Itu adalah harapan besar. Lagu itu adalah nyala api untuk merdeka. Namun, Sin Po bukan hanya memuat lagu "Indonesia Raya." 

Sin Po menjadi perantara untuk memperkenalkan nama "Indonesia" --- bukan "Hindia Belanda." Mereka berani mengusung identitas baru, sebuah bangsa yang belum terbentuk tapi sudah dirindukan banyak orang.

Bahasa Melayu, Jembatan di Antara Kita

Pada awal abad ke-20, ada satu bahasa yang lebih dekat di hati banyak orang. Bukan bahasa Belanda, bukan bahasa Inggris. Bahasa Melayu. Bagi komunitas Tionghoa, bahasa ini adalah bahasa sehari-hari. Di sekolah-sekolah, di jalan, di rumah, bahasa Melayu menjadi alat komunikasi.

Sebuah sekolah bernama Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) berdiri di Jakarta. Di sinilah pendidikan dengan bahasa Melayu diajarkan, menggantikan bahasa Belanda. Ini bukan pilihan yang mudah. 

Pada zaman kolonial, bahasa Belanda adalah simbol status. Namun, para pendiri THHK tahu bahwa bahasa Melayu bisa menjadi alat pemersatu. 

Didi Kwartanada, seorang sejarawan, menulis bahwa THHK tidak memilih bahasa Belanda dengan alasan khusus. Bahasa Melayu lebih mudah dipahami. Lebih inklusif. Sebuah bahasa yang bisa diterima oleh semua golongan di Nusantara (Historia.id, 2018).

Bahasa Melayu tumbuh dan berkembang di bawah tangan orang-orang biasa. THHK tahu betul bahwa bahasa ini memiliki kekuatan. Bukan hanya sebagai bahasa pergaulan, tapi juga sebagai bahasa identitas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun