Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Extended Family di Sumatera, Pilar Tradisi di Tengah Modernitas

24 Oktober 2024   12:14 Diperbarui: 24 Oktober 2024   12:32 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika saya dan istri memutuskan untuk membangun rumah di Musi Rawas, Sumatera Selatan, keterbatasan anggaran menjadi tantangan utama.

Kami, seperti banyak pasangan muda lainnya, menghadapi kenyataan bahwa membangun rumah dari nol memerlukan biaya yang tidak sedikit. Namun, di luar dugaan, sebuah tradisi turun-temurun menawarkan solusi yang datang dari keluarga besar kami.

Tradisi rewang gawe omah---gotong royong untuk membantu pembangunan rumah---menjadi bentuk solidaritas yang tak ternilai. Anggota keluarga dari berbagai tempat datang membawa bahan bangunan, uang, dan tenaga kerja, memperlihatkan kekuatan dari sistem extended family yang masih bertahan kuat di Sumatera.

Ini bukan hanya tentang pembangunan fisik, tetapi lebih dari itu, sebuah manifestasi dari ikatan sosial yang mendalam. Keluarga besar tidak hanya membantu secara material tetapi juga menciptakan jaringan sosial yang memberikan rasa aman bagi semua anggotanya.

Pertanyaannya sekarang adalah, di tengah gelombang modernitas dan individualisme, seberapa relevan tradisi ini di era sekarang?

Pilar Solidaritas: Kekuatan Keluarga Besar

Di berbagai wilayah di Sumatera, keluarga besar tetap menjadi pondasi utama dalam menjaga kesejahteraan sosial dan ekonomi. Ketika saya dan istri mulai membangun rumah, kami merasakan bagaimana saudara-saudara kami, meskipun tidak dekat secara geografis, tetap hadir dengan bantuan yang substansial.

Ada yang datang dengan membawa semen, kayu, atau batu bata, sementara yang lain membantu dengan tenaga kerja. Bantuan ini diberikan tanpa kontrak, tanpa pamrih, dengan pemahaman bahwa kami akan membalas budi ketika tiba waktunya mereka membutuhkan.

Tradisi rewang seperti yang saya alami tidak hanya sekadar simbol gotong royong, melainkan juga wujud nyata dari fungsi keluarga besar sebagai jaring pengaman sosial.

Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Universitas Sumatera Utara, lebih dari 80% keluarga di wilayah pedesaan Sumatera masih mengandalkan keluarga besar sebagai sistem dukungan utama ketika menghadapi krisis, baik itu krisis ekonomi, sosial, maupun kesehatan (Katadata.co.id, 18/03/2022).

Seorang teman saya di Medan baru saja menyelesaikan pembangunan rumahnya di Pematangsiantar, juga dengan bantuan dari keluarganya. "Saudara-saudara datang tanpa diminta, membawa segala keperluan untuk membangun rumah. Ini bukan hanya tentang bantuan material, tapi ikatan sosial yang membuat kami semakin dekat," ungkapnya.

Kisah ini mencerminkan bagaimana kekuatan keluarga besar dalam memperkuat solidaritas sosial di Sumatera masih sangat relevan hingga saat ini.

Dilema Generasi Muda, Antara Tradisi dan Modernitas

Namun, di tengah kekuatan sistem extended family, generasi muda yang tumbuh di kota-kota besar menghadapi dilema antara tradisi dan tuntutan kehidupan modern.

Dalam sebuah survei oleh Lembaga Demografi Universitas Indonesia, banyak anak muda yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Palembang, mulai merasa terbebani oleh tuntutan keluarga besar yang seringkali memakan waktu, biaya, dan energi (Lembaga Demografi UI, 2021).

"Sebagai generasi muda, saya menghargai tradisi keluarga besar seperti rewang, tetapi di satu sisi, saya juga merasa ini terlalu menuntut. Tuntutan kerja dan karier sering kali membuat saya merasa sulit untuk berpartisipasi secara penuh," ungkap salah satu responden survei tersebut (Kompas.com, 05/10/2022).

Hal ini menggambarkan dilema yang dihadapi oleh banyak anak muda: bagaimana menghormati dan melanjutkan tradisi keluarga besar tanpa merasa terlalu terbebani oleh ekspektasi sosial.

Meskipun begitu, survei tersebut juga menunjukkan bahwa banyak generasi muda masih memiliki ikatan emosional yang kuat dengan keluarga besar mereka. Mereka mungkin tidak selalu hadir secara fisik dalam setiap acara atau kegiatan keluarga besar, tetapi tetap merasa bertanggung jawab secara emosional dan sosial terhadap keluarga besar mereka.

Kritik terhadap Tradisi, Beban atau Berkah?

Di tengah pujian terhadap kekuatan dan solidaritas keluarga besar, kritik juga muncul, terutama dari kalangan masyarakat perkotaan.

Acara-acara besar seperti pernikahan, akikah, atau rewang untuk membangun rumah sering dianggap sebagai beban ekonomi bagi keluarga muda yang sedang berjuang membangun karier dan keluarga inti mereka.

Salah satu teman saya di Palembang pernah menceritakan bagaimana ia merasa terbebani ketika harus mengadakan akikah untuk anaknya, yang melibatkan seluruh keluarga besar.

"Ketika seluruh keluarga besar datang, saya merasa harus menyiapkan segala sesuatunya dengan lebih mewah dari yang seharusnya. Ini adalah bentuk penghormatan, tentu, tetapi juga membebani secara finansial," katanya. Fenomena ini bukan hanya terjadi pada teman saya, tetapi juga dialami oleh banyak keluarga muda di perkotaan Sumatera.

Kritik lain muncul dari generasi muda yang merasa bahwa acara keluarga besar seperti rewang terlalu memakan waktu dan energi, yang sulit diakomodasi di tengah jadwal kehidupan modern yang semakin padat. "Saya sering kali merasa bahwa tuntutan keluarga besar terlalu banyak, padahal saya sendiri punya kebutuhan lain yang harus diprioritaskan," ungkap seorang pekerja muda di Medan (Detik.com, 18/08/2022).

Kritik semacam ini memperlihatkan tantangan nyata yang dihadapi oleh generasi muda dalam menyeimbangkan tradisi dan kebutuhan modern.

Keluarga Besar Sebagai Jaring Pengaman Sosial

Di tengah kritik tersebut, satu hal yang membuat keluarga besar di Sumatera tetap relevan adalah perannya sebagai jaring pengaman sosial.

Di daerah-daerah pedesaan, ketika bantuan dari pemerintah atau lembaga formal tidak selalu mencukupi, keluarga besar sering kali menjadi benteng terakhir yang bisa diandalkan. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, lebih dari 70% keluarga di pedesaan Sumatera mengandalkan keluarga besar ketika menghadapi krisis ekonomi atau kesehatan.

"Keluarga besar adalah penyelamat kami ketika suami saya jatuh sakit. Mereka membantu tidak hanya dengan uang, tetapi juga memberikan dukungan emosional yang sangat dibutuhkan saat itu," ujar seorang ibu rumah tangga di Padang (Kompas.com, 22/10/2023). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran keluarga besar dalam menyediakan dukungan moral dan finansial yang sangat dibutuhkan, terutama di masa-masa sulit.

Penelitian yang dipublikasikan di Journal of Family Issues juga mendukung temuan ini, di mana sistem extended family secara signifikan mengurangi tingkat stres dan kecemasan yang dihadapi oleh individu yang tinggal dalam keluarga besar.

Ketika dihadapkan pada masalah pekerjaan atau konflik pribadi, dukungan dari keluarga besar membantu menjaga keseimbangan emosional yang sering kali sulit didapat di masyarakat yang semakin individualistik.

Adaptasi Tradisi di Era Modern

Untuk menjaga relevansi tradisi extended family di tengah modernisasi, adaptasi menjadi kunci utama.

Teknologi digital seperti media sosial dan aplikasi pesan memungkinkan anggota keluarga besar untuk tetap terhubung tanpa harus hadir secara fisik dalam setiap acara. Generasi muda dapat tetap berpartisipasi dalam tradisi, meski dalam bentuk yang lebih fleksibel dan sesuai dengan gaya hidup modern.

Selain itu, peran institusi formal seperti pemerintah juga perlu diperkuat untuk meringankan beban keluarga besar yang sering kali mengambil alih peran yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.

Dengan adanya dukungan dari pemerintah dan lembaga formal, keluarga besar dapat lebih fokus pada memberikan dukungan emosional dan moral yang sangat penting bagi kesejahteraan individu.

Kombinasi antara tradisi dan inovasi ini dapat memastikan bahwa sistem extended family tetap kuat dan relevan di masa depan, meskipun dunia terus berubah dengan cepat.

Kesimpulan: Masa Depan Keluarga Besar di Sumatera

Di tengah tantangan modernisasi, keluarga besar di Sumatera tetap menjadi pilar penting dalam menjaga kesejahteraan sosial dan ekonomi.

Sistem ini memberikan stabilitas yang tidak dapat digantikan oleh institusi formal, terutama dalam menghadapi krisis ekonomi dan sosial. Meskipun ada pergeseran nilai di kalangan generasi muda, ikatan emosional dan tanggung jawab sosial yang ada dalam keluarga besar tetap kuat.

Dengan adaptasi yang tepat, tradisi keluarga besar tidak hanya akan bertahan, tetapi juga berkembang di tengah perubahan zaman.

Teknologi digital dan peran yang lebih kuat dari pemerintah akan menjadi kunci dalam menjaga relevansi tradisi ini di masa depan, memastikan bahwa keluarga besar tetap menjadi jaring pengaman sosial yang kuat di Sumatera, bahkan dalam dunia yang semakin individualistik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun