Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Extended Family di Sumatera, Pilar Tradisi di Tengah Modernitas

24 Oktober 2024   12:14 Diperbarui: 24 Oktober 2024   12:32 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah ini mencerminkan bagaimana kekuatan keluarga besar dalam memperkuat solidaritas sosial di Sumatera masih sangat relevan hingga saat ini.

Dilema Generasi Muda, Antara Tradisi dan Modernitas

Namun, di tengah kekuatan sistem extended family, generasi muda yang tumbuh di kota-kota besar menghadapi dilema antara tradisi dan tuntutan kehidupan modern.

Dalam sebuah survei oleh Lembaga Demografi Universitas Indonesia, banyak anak muda yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Palembang, mulai merasa terbebani oleh tuntutan keluarga besar yang seringkali memakan waktu, biaya, dan energi (Lembaga Demografi UI, 2021).

"Sebagai generasi muda, saya menghargai tradisi keluarga besar seperti rewang, tetapi di satu sisi, saya juga merasa ini terlalu menuntut. Tuntutan kerja dan karier sering kali membuat saya merasa sulit untuk berpartisipasi secara penuh," ungkap salah satu responden survei tersebut (Kompas.com, 05/10/2022).

Hal ini menggambarkan dilema yang dihadapi oleh banyak anak muda: bagaimana menghormati dan melanjutkan tradisi keluarga besar tanpa merasa terlalu terbebani oleh ekspektasi sosial.

Meskipun begitu, survei tersebut juga menunjukkan bahwa banyak generasi muda masih memiliki ikatan emosional yang kuat dengan keluarga besar mereka. Mereka mungkin tidak selalu hadir secara fisik dalam setiap acara atau kegiatan keluarga besar, tetapi tetap merasa bertanggung jawab secara emosional dan sosial terhadap keluarga besar mereka.

Kritik terhadap Tradisi, Beban atau Berkah?

Di tengah pujian terhadap kekuatan dan solidaritas keluarga besar, kritik juga muncul, terutama dari kalangan masyarakat perkotaan.

Acara-acara besar seperti pernikahan, akikah, atau rewang untuk membangun rumah sering dianggap sebagai beban ekonomi bagi keluarga muda yang sedang berjuang membangun karier dan keluarga inti mereka.

Salah satu teman saya di Palembang pernah menceritakan bagaimana ia merasa terbebani ketika harus mengadakan akikah untuk anaknya, yang melibatkan seluruh keluarga besar.

"Ketika seluruh keluarga besar datang, saya merasa harus menyiapkan segala sesuatunya dengan lebih mewah dari yang seharusnya. Ini adalah bentuk penghormatan, tentu, tetapi juga membebani secara finansial," katanya. Fenomena ini bukan hanya terjadi pada teman saya, tetapi juga dialami oleh banyak keluarga muda di perkotaan Sumatera.

Kritik lain muncul dari generasi muda yang merasa bahwa acara keluarga besar seperti rewang terlalu memakan waktu dan energi, yang sulit diakomodasi di tengah jadwal kehidupan modern yang semakin padat. "Saya sering kali merasa bahwa tuntutan keluarga besar terlalu banyak, padahal saya sendiri punya kebutuhan lain yang harus diprioritaskan," ungkap seorang pekerja muda di Medan (Detik.com, 18/08/2022).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun