Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Evaluasi Kurikulum Merdeka, Harapan Baru di Bawah Abdul Mu'ti, Tantangan Lama yang Harus Segera Diatasi

24 Oktober 2024   08:07 Diperbarui: 24 Oktober 2024   08:12 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai langkah monumental dalam reformasi pendidikan, Kurikulum Merdeka diperkenalkan dengan tujuan memberikan fleksibilitas bagi guru dan siswa dalam menentukan arah pembelajaran.

Namun, seperti halnya setiap kebijakan besar, penerapannya di lapangan jauh dari mulus. Ketidakseimbangan infrastruktur, kompetensi guru yang bervariasi, dan ketidakjelasan alat ukur menjadi masalah yang terus menghantui sistem pendidikan Indonesia.

Kini, dengan hadirnya Abdul Mu'ti sebagai Menteri Pendidikan yang baru, timbul harapan baru akan evaluasi yang lebih mendalam dan tepat sasaran terhadap Kurikulum Merdeka. Pertanyaannya, apakah kurikulum ini perlu diganti, ataukah perbaikan-perbaikan yang komprehensif bisa dilakukan untuk memastikan efektivitasnya?

Fleksibilitas atau Kebingungan?

"Kurikulum Merdeka itu bagus di atas kertas, tapi sulit diimplementasikan di daerah-daerah yang infrastrukturnya minim," ujar salah satu guru di Kalimantan Timur ketika ditanya mengenai penerapan kurikulum ini (Kompas.com, 12/10/2024).

Pernyataan ini mencerminkan keluhan utama para pendidik di banyak wilayah di Indonesia. Pada dasarnya, Kurikulum Merdeka didesain untuk memberikan otonomi kepada guru dalam menyesuaikan metode pengajaran sesuai kebutuhan siswa, namun masalahnya terletak pada kapasitas sumber daya manusia yang belum merata.

Di kota-kota besar dengan akses yang baik terhadap teknologi dan pelatihan, guru mungkin dapat memanfaatkan kebebasan ini untuk menciptakan pendekatan inovatif di kelas. Namun, di daerah-daerah terpencil, di mana akses terhadap internet saja terbatas, otonomi semacam ini justru menjadi beban tambahan. Banyak guru yang kebingungan dalam menyesuaikan kurikulum, terutama ketika mereka sendiri tidak mendapatkan pelatihan yang memadai (Katadata.co.id, 15/10/2024).

Abdul Mu'ti perlu memfokuskan evaluasinya pada kesenjangan ini. Fleksibilitas memang penting, tetapi harus ada panduan yang lebih jelas dan pelatihan yang komprehensif untuk memastikan semua guru, baik di perkotaan maupun pedesaan, mampu menjalankan Kurikulum Merdeka secara efektif. Tanpa hal tersebut, kurikulum ini justru berisiko meningkatkan ketimpangan pendidikan antara daerah maju dan tertinggal.

P5: Pendidikan Karakter atau Beban Tambahan?

Salah satu pilar dari Kurikulum Merdeka adalah Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), yang bertujuan membentuk karakter siswa sesuai nilai-nilai Pancasila. Meski tujuan ini terpuji, banyak pihak mengkhawatirkan bahwa P5 mengambil terlalu banyak waktu pembelajaran akademik.

"Kami merasa tertekan dengan alokasi waktu untuk P5, karena hal ini mengurangi jam belajar untuk mata pelajaran yang lebih mendasar seperti matematika dan sains," keluh seorang guru sekolah menengah di Bandung (Detik.com, 08/10/2024).

Efektivitas P5 perlu dievaluasi secara serius. Meskipun karakter dan nilai-nilai Pancasila sangat penting, penekanannya tidak boleh mengorbankan kompetensi akademik yang juga krusial bagi masa depan siswa.

Saat ini, P5 berjalan tanpa alat ukur yang jelas untuk menilai dampaknya terhadap siswa. Apakah siswa benar-benar berkembang secara karakter? Ataukah proyek ini hanya menjadi formalitas administratif yang menguras jam belajar?

Abdul Mu'ti perlu meninjau kembali bagaimana P5 diintegrasikan ke dalam kurikulum agar tidak terjadi pengurangan jam pelajaran inti yang berdampak pada prestasi akademik siswa.

Standarisasi yang Terabaikan

Salah satu kekhawatiran terbesar mengenai Kurikulum Merdeka adalah absennya ujian nasional yang terstandarisasi sebagai alat ukur utama kemampuan siswa.

Walaupun kebijakan ini dilihat sebagai upaya mengurangi tekanan berlebih pada siswa, kenyataannya, ujian nasional atau bentuk evaluasi serupa tetap diperlukan sebagai alat untuk mengukur kemampuan siswa dan kualitas pendidikan antar wilayah.

Tanpa alat ukur yang jelas, sulit bagi pemerintah untuk mengetahui mana saja daerah yang membutuhkan intervensi, baik dalam bentuk peningkatan kualitas guru maupun infrastruktur.

Data dari ujian nasional dapat memberikan peta yang akurat mengenai kesenjangan pendidikan di Indonesia, sehingga pemerintah dapat menyusun kebijakan yang lebih tepat sasaran.

Sebagai contoh, hasil ujian nasional pada masa lalu sering kali menunjukkan bahwa daerah-daerah tertinggal seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur masih membutuhkan peningkatan infrastruktur dan pelatihan guru yang lebih intensif (SindoNews.com, 14/10/2024).

Di bawah kepemimpinan Abdul Mu'ti, penting untuk mempertimbangkan kembali bentuk evaluasi yang terstandarisasi di setiap jenjang pendidikan. Evaluasi ini tidak harus dalam format ujian nasional seperti dulu, tetapi bisa dikembangkan menjadi alat yang lebih holistik dan mencerminkan kemampuan siswa secara menyeluruh.

Yang terpenting, evaluasi ini harus mampu memberikan data yang konkret untuk memperbaiki kualitas pendidikan di seluruh Indonesia.

Pelatihan Guru, Solusi atau Beban?

Saat berbicara tentang peningkatan kompetensi guru, sering kali muncul gagasan bahwa pelatihan dan pengembangan profesional adalah solusinya.

Namun, dalam konteks Kurikulum Merdeka, pelatihan yang ada sering kali terlalu umum dan tidak relevan dengan kondisi lokal. Banyak guru yang merasa bahwa tuntutan untuk menambah kompetensi sering kali dipaksakan tanpa memperhatikan kebutuhan spesifik mereka di lapangan (AntaraNews.com, 09/10/2024).

Abdul Mu'ti harus memastikan bahwa pelatihan guru berbasis pada hasil nyata dan kebutuhan spesifik. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan data dari alat ukur standar (seperti ujian nasional atau tes sejenis) untuk mengidentifikasi kelemahan siswa di berbagai daerah.

Dari situ, pelatihan guru harus difokuskan pada peningkatan kompetensi yang relevan dengan hasil tersebut. Sebagai contoh, jika di satu daerah ditemukan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam matematika, maka pelatihan guru di daerah tersebut harus difokuskan pada peningkatan kemampuan mengajar matematika, bukan sekadar pelatihan generik.

Teknologi dan Digitalisasi: Masalah atau Solusi?

Salah satu aspek dari Kurikulum Merdeka yang mendapatkan banyak perhatian adalah upaya untuk mendigitalisasi pendidikan.

Namun, sebagaimana dikemukakan oleh banyak pendidik, upaya ini sering kali tidak realistis di banyak daerah yang infrastruktur digitalnya masih jauh dari memadai. Di banyak wilayah terpencil, akses internet terbatas, dan ketersediaan perangkat teknologi yang memadai pun menjadi masalah (Viva.co.id, 11/10/2024).

Digitalisasi pendidikan memang merupakan langkah penting untuk masa depan, tetapi implementasinya harus lebih bertahap dan disesuaikan dengan kondisi lokal.

Daerah-daerah yang masih tertinggal harus difasilitasi terlebih dahulu dengan infrastruktur dasar sebelum bisa menerima tuntutan digitalisasi.

Abdul Mu'ti perlu memastikan bahwa kebijakan digitalisasi tidak dipaksakan seragam di seluruh Indonesia, tetapi diterapkan secara bertahap sesuai kesiapan masing-masing daerah.

Apa yang Harus Dilakukan Abdul Mu'ti?

Sebagai menteri baru, Abdul Mu'ti menghadapi tantangan besar untuk mengevaluasi dan memperbaiki Kurikulum Merdeka. Pertama, ia perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi kurikulum ini, dengan fokus pada kesenjangan antara daerah maju dan tertinggal.

Ia juga harus mempertimbangkan kembali pentingnya standarisasi evaluasi pendidikan untuk mengukur kualitas siswa dan guru di seluruh Indonesia. Selain itu, P5 harus lebih terukur dan terintegrasi secara alami ke dalam mata pelajaran akademis.

Pelatihan guru harus difokuskan pada hasil nyata dan kebutuhan spesifik, bukan sekadar pemenuhan standar administratif. Akhirnya, digitalisasi pendidikan harus diterapkan secara bertahap dan berdasarkan kesiapan daerah, agar tidak justru menjadi beban tambahan bagi sekolah-sekolah di wilayah tertinggal.

Dengan pendekatan yang lebih sistematis dan berbasis data, Abdul Mu'ti dapat memperbaiki kelemahan Kurikulum Merdeka dan mendorong sistem pendidikan Indonesia menuju masa depan yang lebih inklusif dan berkualitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun