Dalam teori birokrasi Max Weber, struktur kekuasaan dibangun berdasarkan aturan yang ketat dan hierarki yang jelas.
Birokrasi modern dirancang untuk menghindari personalisasi kekuasaan, di mana aturan harus lebih dominan daripada hubungan personal atau kesetiaan politis.
Namun, kenyataan di Indonesia sering kali bertolak belakang. Relasi kekuasaan di tingkat lokal sering kali tidak berjalan sesuai dengan logika birokrasi formal.
Kepala desa mungkin lebih takut atau merasa lebih berutang budi kepada menteri pusat ketimbang kepada bupati yang secara struktural adalah atasan mereka.
Hal ini mencerminkan bahwa politik Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh relasi patron-klien yang kental. Dalam banyak kasus, hubungan ini justru mengaburkan batasan-batasan struktural yang seharusnya ada dalam birokrasi yang sehat.
Para pejabat lokal sering kali merasa perlu menunjukkan kesetiaan politik kepada pejabat pusat demi mempertahankan posisi atau mendapatkan keuntungan tertentu. Ini adalah bentuk manipulasi kekuasaan yang secara langsung mengganggu otonomi pemerintahan desa.
Perkuat Etika dan Jaga Otonomi Desa
Untuk mencegah terulangnya kasus serupa, pemerintah perlu melakukan dua hal. Pertama, memperkuat aturan dan sanksi terhadap pelanggaran etika administratif, terutama dalam hal penggunaan simbol-simbol negara untuk kepentingan pribadi.
Pemberian sanksi yang tegas terhadap pelanggaran semacam ini sangat penting untuk menjaga wibawa birokrasi dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan . Kedua, otonomi desa harus diperkuat, tidak hanya dalam hal kebijakan tetapi juga dalam hal pemahaman tentang batasan wewenang.
Kepala desa perlu diberikan pendidikan lebih lanjut mengenai peran mereka dalam struktur pemerintahan, sehingga mereka tidak mudah terpengaruh oleh tekanan politik dari pejabat pusat.
Selain itu, budaya patronase yang telah mengakar juga perlu diberantas dengan cara membangun birokrasi yang lebih independen dan profesional. Para pejabat, baik di tingkat pusat maupun daerah, harus belajar memisahkan antara loyalitas politik dan tanggung jawab administratif.
Hanya dengan cara inilah kita dapat menciptakan pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, dan melayani kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau politik.