Presiden Prabowo Subianto akhirnya mengumumkan kabinetnya, yang mungkin tidak dapat kita sebut ramping kecuali kita sedang bercanda.
Dengan lebih dari 100 menteri, wakil menteri, dan kepala badan, pemerintah ini lebih menyerupai rombongan karnaval daripada tim sepak bola.
Namun, di balik semua itu, muncul satu pertanyaan: apakah negara kita benar-benar butuh kabinet sebesar ini, atau kita sekadar mengumpulkan manusia sebanyak mungkin agar ada yang selalu hadir saat rapat berlangsung?
Seperti kata pepatah: "Gemuk belum tentu kuat, ramping belum tentu cepat." Namun, kabinet gemuk ini bisa saja merupakan eksperimen politik terbesar abad ini---apakah tubuh besar mampu bergerak lincah tanpa tersandung ego sektoral?
Menko: Lapis Kedua yang Terlalu Banyak?
Mari mulai dengan fenomena Menko (Menteri Koordinator). Saat ini ada tujuh orang Menko yang ditugaskan untuk, secara harfiah, menjadi "wasit" bagi para menteri di bawah mereka.
Keberadaan Menko dianggap sebagai solusi atas tantangan koordinasi, terutama karena Wakil Presiden baru mungkin butuh waktu untuk beradaptasi. Tapi apakah kita perlu tujuh Menko untuk memastikan roda birokrasi berjalan lancar?
Risikonya jelas: terlalu banyak lapisan membuat keputusan lebih lambat. Dengan Menko yang mengoordinasikan menteri, mungkin kita perlu Menko Koordinator untuk mengoordinasi Menko. Hasil akhirnya?
Kita bisa melihat birokrasi kita berjalan seperti sebuah pertandingan sepak bola dengan 44 pemain di lapangan---semua berebut bola, tapi tidak ada yang mencetak gol. Risiko ini bukanlah lelucon.Â
Dengan lebih banyak kepala, koordinasi akan semakin rumit, dan menambah Menko justru memperpanjang rantai birokrasi (kompas.com, 20/10/2024).
Pecah Kementerian: Manajemen Fragmen atau Hanya Pemecahan Masalah?
Salah satu langkah yang paling menonjol dalam kabinet baru ini adalah fragmentasi kementerian.
Kemenkumham dipecah menjadi tiga bagian, dan Kemendikbudristek juga mengalami hal yang sama. Apakah ini upaya untuk memberikan fokus yang lebih pada setiap fungsi, atau sekadar mengalokasikan lebih banyak kursi untuk kolega politik?
Yang pasti, pecahnya kementerian ini akan berimbas pada birokrasi yang lebih terfragmentasi.
Jika setiap kementerian membutuhkan waktu untuk membentuk identitasnya sendiri---dari logo hingga staf baru di lapangan---maka kita mungkin harus siap menghadapi "revolusi logo" di setiap kantor dinas dalam beberapa bulan mendatang.Â
Kita tentu tidak ingin situasi di mana pejabat lebih sibuk memikirkan desain logo baru ketimbang urusan negara yang mendesak.
Positifnya, dengan portofolio yang lebih spesifik, setiap kementerian bisa lebih fokus pada tugasnya masing-masing.
Namun, di sisi lain, fragmentasi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa akan ada tumpang tindih wewenang dan potensi benturan kepentingan antar-kementerian.
Kabinet: Tentu Gemuk, Tapi Siapa yang Kenyang?
Kabinet gemuk, seperti halnya tubuh manusia, membutuhkan banyak makanan. Dengan kata lain, anggaran untuk membiayai kementerian-kementerian baru ini pasti akan membengkak.
Bayangkan saja: menteri-menteri baru, wakil-wakil mereka, dan seluruh perangkat yang diperlukan untuk menjalankan setiap kementerian. Bahkan, DPR juga harus menyesuaikan diri dengan portofolio kementerian yang baru.
Namun, pertanyaan paling menarik adalah: siapakah yang akan "kenyang"?Â
Apakah rakyat yang diharapkan mendapat pelayanan lebih baik dari kementerian-kementerian yang lebih fokus, atau para politisi yang menikmati kursi menteri tambahan? Apakah ini soal efisiensi atau sekadar perluasan lapangan kerja politik?
Dalam konteks ini, rakyat mungkin seperti penonton di arena sirkus politik---tertawa melihat badut bermain-main, tapi tidak pernah diundang untuk ikut makan kue. Sementara itu, beban anggaran negara akan terus meningkat.
Ego Sektoral: Harimau di Antara Menteri?
Setiap pemerintahan memiliki tantangan tersendiri, dan kabinet Prabowo ini tidak terkecuali.
Salah satu penyakit kronis dalam birokrasi adalah ego sektoral---di mana setiap kementerian lebih sibuk menjaga wilayah kekuasaannya sendiri ketimbang bekerja sama untuk kepentingan bangsa.Â
Dalam kabinet gemuk ini, risiko ego sektoral semakin meningkat karena ada lebih banyak pemain di lapangan.
Para Menko diharapkan mampu mengatasi tantangan ini, tetapi masalahnya, siapa yang akan mengoordinasi mereka? Apakah kita butuh "super-Menko"? Atau apakah Prabowo, seperti wasit sepak bola, akan meniup peluit setiap kali ada yang keluar dari jalur?
Kita tidak boleh lupa bahwa lebih banyak kepala juga berarti lebih banyak ego yang harus disatukan. Butuh keahlian politik yang luar biasa untuk memastikan semua pihak tetap fokus pada tujuan bersama.
Kesimpulan: Gajah di Ruang Sidang?
Pada akhirnya, kabinet gemuk ini seperti gajah di ruang sidang. Semua orang melihatnya, semua orang membicarakannya, tapi tidak ada yang benar-benar tahu apakah gajah ini bisa menari.
Dengan birokrasi yang semakin kompleks, tantangan koordinasi yang meningkat, dan risiko anggaran yang membengkak, kabinet ini menghadapi ujian berat.
Namun, seperti kata Prabowo sendiri, "Negara kita besar, Bung!" Mungkin kita memang butuh kabinet sebesar ini untuk menangani tantangan yang besar pula.
Tapi satu hal yang pasti: rakyat menunggu hasil. Kabinet ini mungkin jumbo, tapi apakah ia bisa bergerak lincah dan efisien? Itu yang akan menjadi pertanyaan besar dalam beberapa bulan mendatang.
Semoga kabinet ini bukan hanya gajah di ruang sidang, tetapi juga harimau di lapangan politik---berani, tangkas, dan siap menerkam masalah yang menghalangi kemajuan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H