Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik.

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

100 Hari Kabinet Prabowo, Mencermati Efektifitas Kabinet Merah Putih di Tengah Tantangan Koordinasi dan Harapan Publik

21 Oktober 2024   08:30 Diperbarui: 21 Oktober 2024   09:33 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Presiden Prabowo Subianto memulai 100 hari pertamanya dengan janji besar kepada rakyat Indonesia. Dari swasembada pangan hingga reformasi birokrasi, program prioritas ini menggarisbawahi tekad Prabowo untuk membuktikan bahwa pemerintahannya adalah kabinet zaken---efisien, profesional, dan berorientasi pada hasil.

Namun, di tengah optimisme ini, terselip kekhawatiran yang sah: apakah struktur Kabinet Merah Putih yang besar, dengan 48 kementerian dan wakil-wakilnya, mampu memenuhi ekspektasi publik atau justru terjebak dalam tantangan koordinasi yang rumit?

Di Indonesia, 100 hari pertama bukan hanya tolok ukur performa, melainkan juga momentum penting untuk menciptakan kepercayaan publik. Harapan tinggi datang dari berbagai lapisan masyarakat, yang menanti dengan was-was apakah janji-janji kampanye akan diimplementasikan.

Lebih jauh lagi, dengan kabinet yang menggabungkan politisi, akademisi, serta sosok dari militer, apakah kombinasi ini menghasilkan kerja sama yang sinergis atau justru menambah beban koordinasi lintas sektoral?

Tantangan Koordinasi: Struktur Gemuk dan Efektivitas

Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, Indonesia memiliki tradisi politik di mana konsolidasi kekuatan politik sering kali menciptakan kabinet besar.

Dalam pemerintahan Prabowo, 17 program prioritas yang diajukan mencakup bidang-bidang krusial seperti swasembada pangan dan energi, serta reformasi politik. Tantangan yang dihadapi bukan sekadar implementasi kebijakan, melainkan juga memastikan agar koordinasi lintas kementerian berjalan dengan baik.

Namun, tantangan ini bukanlah hal baru. Pada masa pemerintahan Jokowi, misalnya, kabinet gemuk kerap dikritik karena lambatnya pengambilan keputusan dan adanya tumpang tindih kebijakan.

Ketika Jokowi menghadapi situasi serupa, dia menggunakan pendekatan konsolidasi politik dengan mengakomodasi berbagai partai. Akan tetapi, langkah tersebut tak luput dari kritik karena dinilai memperlambat efektivitas.

Dalam kasus Prabowo, kabinet yang besar membawa risiko yang sama. Meski menjanjikan kabinet zaken, pengaruh politik dari koalisi pengusung tetap menjadi faktor dominan dalam pembagian kursi menteri, sebuah dinamika yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Selain itu, struktur kabinet yang terdiri dari 7 kementerian koordinator menambah kompleksitas koordinasi antar-lembaga. Koordinasi lintas kementerian yang tidak berjalan baik dapat menyebabkan inefisiensi dalam pelaksanaan program pemerintah.

Dalam periode 100 hari ini, sangat penting untuk menilai apakah Kabinet Merah Putih mampu bekerja lebih cepat dan efisien dibandingkan kabinet sebelumnya, atau justru terbebani oleh kompleksitas struktural.

Politik Pembagian Kekuasaan: Dampak pada Profesionalisme

Salah satu kritik utama terhadap kabinet ini adalah ketergantungannya pada kompromi politik. Kabinet Prabowo, seperti yang telah diumumkan, menunjukkan adanya jatah yang diberikan kepada partai politik pengusungnya.

Golkar dan Gerindra, sebagai dua partai besar dalam koalisi, mendapat bagian terbesar dalam komposisi kabinet. Sementara itu, partai-partai non-pengusung yang datang belakangan, seperti PKB dan Nasdem, mendapat porsi lebih kecil, tetapi tetap signifikan.

Pembagian kekuasaan semacam ini memang tidak dapat dihindari dalam politik koalisi, terutama dalam sistem presidensial multipartai seperti Indonesia. Namun, hal ini juga menimbulkan dilema terkait profesionalisme.

Di satu sisi, Prabowo berjanji untuk membentuk kabinet yang diisi oleh orang-orang yang ahli di bidangnya; di sisi lain, tekanan politik membuat beberapa posisi strategis diberikan kepada politisi partai yang mungkin kurang memiliki kompetensi teknis. Misalnya, posisi di kementerian strategis seperti Pertanian atau Energi memerlukan keahlian teknis yang mendalam, sementara dalam praktiknya, faktor afiliasi politik seringkali menjadi penentu utama.

Tidak hanya itu, dalam konteks representasi organisasi keagamaan, Prabowo tampaknya mengambil pendekatan yang berbeda dengan pendahulunya. Muhammadiyah memperoleh representasi yang cukup kuat di kabinet ini, sementara perwakilan Nahdlatul Ulama (NU) terlihat kurang menonjol dibandingkan pemerintahan sebelumnya.

Ini adalah dinamika sosial-politik yang berpotensi memengaruhi arah kebijakan pemerintah, khususnya dalam hal hubungan negara dan agama.

Pelajaran dari Masa Lalu

Untuk memahami efektivitas Kabinet Merah Putih, ada baiknya kita melihat pembanding dari dalam dan luar negeri. Di Amerika Serikat, konsep "100 hari" pertama yang dipopulerkan oleh Franklin D. Roosevelt sering digunakan sebagai tolok ukur kesuksesan awal sebuah pemerintahan.

Roosevelt berhasil mengesahkan lebih dari 15 undang-undang besar pada 100 hari pertamanya, suatu pencapaian yang menjadikannya salah satu presiden paling produktif dalam sejarah AS.

Namun, situasi di Indonesia tentu berbeda. Di sini, birokrasi yang kompleks dan kekuatan politik yang terfragmentasi sering kali menghambat reformasi cepat seperti yang terjadi di Amerika Serikat.

Sebaliknya, kabinet besar di Indonesia di masa lalu sering kali menghadapi tantangan koordinasi dan birokrasi yang lambat. Era Jokowi, misalnya, dikenal dengan struktur kabinetnya yang gemuk, tetapi terkadang terhambat oleh tumpang tindih kebijakan antar kementerian.

Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, sering kali menjadi figur sentral yang harus "menyelesaikan" masalah lintas kementerian, menandakan adanya kesulitan dalam koordinasi struktural. Di sisi lain, kabinet Prabowo yang juga besar harus membuktikan bahwa mereka dapat belajar dari kesalahan masa lalu, baik dari dalam negeri maupun pengalaman internasional.

Teknologi dan Reformasi Birokrasi: Solusi Potensial

Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan oleh Prabowo untuk mengatasi tantangan koordinasi ini adalah dengan memanfaatkan teknologi. Pemerintah bisa memanfaatkan platform digital untuk meningkatkan transparansi dan mempercepat pengambilan keputusan lintas kementerian.

Negara-negara maju seperti Singapura dan Estonia telah menggunakan sistem digital untuk memantau kinerja kementerian secara real-time, memungkinkan pemerintah untuk mengidentifikasi bottleneck dan mengambil tindakan korektif dengan cepat.

Penggunaan teknologi semacam ini juga bisa meningkatkan akuntabilitas, karena masyarakat dapat melihat langsung hasil kerja pemerintah melalui dashboard publik yang terintegrasi.

Di samping itu, pembentukan posisi wakil menteri di kementerian-kementerian kunci bisa menjadi solusi lainnya. Wakil menteri dengan latar belakang teknis yang kuat bisa membantu meringankan beban koordinasi dan memastikan bahwa setiap kebijakan dijalankan secara efektif.

Posisi wakil menteri yang selama ini kadang dipandang sebagai "formalitas politik" bisa diubah menjadi fungsi yang lebih substansial, terutama dalam kementerian dengan beban kerja tinggi seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat atau Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Kesimpulan: Potensi dan Risiko

Keberhasilan Kabinet Merah Putih dalam menjalankan agenda Prabowo sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk mengatasi dua tantangan utama: efektivitas koordinasi dan integritas profesionalisme.

Meskipun kabinet ini terdiri dari individu-individu yang memiliki keahlian di bidang masing-masing, besarnya struktur dan ketergantungan pada kompromi politik dapat menjadi penghalang yang signifikan.

Untuk itu, Prabowo perlu memastikan bahwa reformasi birokrasi berjalan secara sistematis dan terukur, sambil menjaga keseimbangan antara politik dan profesionalisme.

Pada akhirnya, 100 hari pertama Kabinet Merah Putih akan menjadi penentu apakah pemerintahan Prabowo bisa membawa perubahan yang nyata atau justru terjebak dalam masalah yang sama seperti kabinet-kabinet sebelumnya.

Jika Prabowo berhasil memanfaatkan teknologi, memperkuat koordinasi lintas kementerian, dan menjaga profesionalisme para menteri, ada harapan besar bahwa kabinet ini bisa mewujudkan janji-janji yang telah diucapkan.

Namun, jika birokrasi tetap lambat dan tumpang tindih kebijakan terus terjadi, publik mungkin akan melihat kekecewaan yang sama seperti yang terjadi di masa lalu.

Kabinet Prabowo memiliki peluang besar untuk melampaui efektivitas kabinet-kabinet sebelumnya. Namun, potensi ini hanya bisa diwujudkan jika langkah-langkah konkret diambil untuk mengatasi akar permasalahan dalam birokrasi dan politik Indonesia. Dengan komitmen yang kuat dan tindakan nyata, kabinet ini bisa menjadi tonggak perubahan yang membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun