Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Antara Perpisahan dan Peralihan, Mengapa Momen Jokowi di Bandara Halim Lebih Bermakna dari Sekadar Kepergian?

20 Oktober 2024   14:20 Diperbarui: 21 Oktober 2024   11:28 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden terpilih RI 2024-2029 Prabowo Subianto menyambut Presiden ke-7 RI Joko Widodo di Gedung Nusantara (Gedung Kura-kura) Kompleks Parlemen menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI Periode 2024-2029, Minggu (20/10/2024). (KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN)

Minggu sore, 20 Oktober 2024, Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, menjadi saksi momen historis yang lebih dari sekadar seremoni perpisahan seorang presiden.

Joko Widodo, presiden ketujuh Indonesia, akan segera kembali ke Solo, menandai akhir dari dua periode kepemimpinannya.

Namun, kepergian ini tidak sekadar penutupan babak pemerintahan, melainkan juga simbol penting dari transisi kekuasaan yang berpotensi mengubah arah Indonesia di masa mendatang.

Simbolisme Perpisahan Jokowi

Dalam pandangan sosiologis, momen-momen seperti ini memiliki kekuatan simbolis yang mendalam. Bukan hanya tentang perpisahan seorang pemimpin dengan istana, tetapi juga tentang dinamika kekuasaan yang sedang bergeser.

Jokowi, dengan latar belakang sebagai "orang biasa" yang naik menjadi presiden, telah membangun citra kepemimpinan yang personal, dekat dengan rakyat, dan sederhana.

Momen perpisahannya di Bandara Halim bukanlah perpisahan biasa; ini adalah refleksi dari bagaimana struktur kekuasaan bisa mengubah individu, serta bagaimana individu tersebut memengaruhi struktur kekuasaan.

Dalam tradisi politik modern, cara seorang pemimpin meninggalkan kursi kekuasaan sering kali mencerminkan gaya kepemimpinan dan warisan yang ingin ditinggalkannya.

Sederhana, tanpa kemegahan yang berlebihan, Jokowi seolah ingin menegaskan bahwa ia tetap sama seperti saat memulai jabatannya, dekat dengan rakyat dan bersahaja.

Namun, lebih dari itu, kepergian Jokowi juga menjadi simbol dari "pergantian generasi" dalam politik Indonesia, di mana masa depan kepemimpinan akan diwarnai oleh tantangan baru dan tokoh-tokoh yang lebih muda.

Prabowo Subianto hormat kepada Presiden Jokowi usai dilantik menjadi Presiden ke-8 | sumber: sindonews.net
Prabowo Subianto hormat kepada Presiden Jokowi usai dilantik menjadi Presiden ke-8 | sumber: sindonews.net

Warisan Politik Jokowi: Antara Keberlanjutan dan Transformasi

Selama dua periode kepemimpinannya, Jokowi meninggalkan jejak yang signifikan. Pembangunan infrastruktur masif, program ekonomi, serta upaya reformasi birokrasi adalah beberapa pencapaiannya.

Namun, warisannya tidak hanya pada fisik proyek-proyek yang dibangunnya, tetapi juga pada bagaimana ia mengubah cara pandang masyarakat terhadap pemimpin.

Jokowi telah menantang stereotip pemimpin politik yang lahir dari elit, dan menunjukkan bahwa seorang yang berasal dari akar rumput juga bisa menduduki kursi tertinggi di negeri ini.

Tantangan terbesar bagi Jokowi saat ini adalah memastikan bahwa warisannya dapat terus berjalan dalam pemerintahan Prabowo Subianto, presiden terpilih yang pernah menjadi lawannya dalam dua pemilu sebelumnya.

Hubungan Jokowi dan Prabowo pasca pelantikan menjadi topik spekulasi politik yang hangat. Meski tidak lagi menjabat sebagai presiden, besar kemungkinan Jokowi akan terus berperan di belakang layar, terutama dalam memengaruhi arah kebijakan pemerintahan baru.

Hubungan pribadi dan profesional antara keduanya bisa menjadi penentu dalam keberlanjutan visi pembangunan Jokowi, terutama terkait dengan proyek-proyek strategis nasional yang belum rampung.

Kekuasaan di Balik Layar: Peran Jokowi Selanjutnya

Dalam banyak kasus, pemimpin yang telah mundur tetap memiliki pengaruh yang kuat, baik melalui jaringan politik yang dibangun selama masa jabatannya, maupun melalui loyalis yang masih duduk di kursi pemerintahan.

Jokowi, dengan karakternya yang kuat dan popularitas yang masih tinggi di kalangan masyarakat, memiliki potensi untuk tetap memainkan peran penting dalam panggung politik Indonesia.

Di sini, kita dapat belajar dari berbagai kasus di negara lain, di mana mantan pemimpin sering kali menjadi "penasehat bayangan" atau bahkan menjadi poros dari kekuatan politik baru.

Pertanyaannya adalah, bagaimana Jokowi akan menggunakan pengaruhnya setelah lengser? Apakah ia akan mengambil peran sebagai mentor bagi generasi pemimpin baru, atau ia akan lebih fokus pada proyek-proyek pribadinya di Solo?

Yang jelas, momen di Bandara Halim ini lebih dari sekadar kepergian seorang presiden. Ini adalah awal dari babak baru bagi Jokowi, di mana ia memiliki peluang untuk membangun warisan politiknya di luar kursi kekuasaan.

Dinamika Sosial-Politik dan Pergantian Generasi

Peristiwa ini juga dapat dilihat dalam konteks pergantian generasi dalam politik Indonesia. Prabowo-Gibran, pasangan presiden-wakil presiden yang baru dilantik, menandai hadirnya sosok-sosok pemimpin yang memiliki karakteristik berbeda dari masa lalu.

Gibran Rakabuming, putra Jokowi, adalah simbol dari regenerasi dalam politik Indonesia, di mana politik dinasti mungkin semakin menguat, tetapi di sisi lain membawa dinamika baru dalam pola kepemimpinan yang lebih inklusif.

Di tengah ketimpangan sosial dan tantangan ekonomi yang semakin kompleks, peralihan kepemimpinan ini memunculkan harapan akan perubahan nyata. Namun, harapan tersebut harus diimbangi dengan kesadaran bahwa perubahan struktural dalam sistem sosial-politik tidak dapat terjadi secara instan.

Ada dinamika kekuasaan yang terus bermain, dan struktur sosial yang sering kali menghambat perubahan radikal.

Lebih dari Sekadar Kepergian

Momen kepergian Jokowi dari Bandara Halim menuju Solo pada 20 Oktober 2024 adalah simbol dari peralihan kekuasaan yang lebih kompleks dari sekadar seremoni formal.

Ini adalah refleksi dari perjalanan politik Indonesia yang dinamis, di mana perubahan kekuasaan tidak hanya berarti pergantian pemimpin, tetapi juga perubahan arah kebijakan, dinamika sosial, dan struktur kekuasaan.

Warisan Jokowi akan diuji dalam masa pemerintahan Prabowo-Gibran, dan perannya di belakang layar bisa menjadi kunci dalam menentukan masa depan politik Indonesia.

Keberangkatan ini, lebih dari sekadar perpisahan, adalah simbol dari sebuah transisi---bukan hanya dalam kepemimpinan, tetapi juga dalam bagaimana masyarakat Indonesia memahami kekuasaan dan warisan seorang pemimpin.

Sebagaimana dinyatakan oleh pakar politik, "Pemimpin yang berhasil adalah mereka yang meninggalkan panggung kekuasaan, namun tetap memengaruhi jalannya sejarah" (kompas.com, 20/10/2024).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun