Setiap pagi, kereta yang mengantarkan saya menuju tempat kerja selalu bergerak dengan ritme yang sama. Dingin logam di bangkunya, denting halus roda-roda besi menggilas rel, dan riuh rendah suara notifikasi ponsel serta percakapan setengah sumbang di antara penumpang.
Namun, pagi itu, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang, jika dilihat sekilas, mungkin tak banyak orang menyadarinya. Tapi bagi saya, hal itu menjadi titik awal dari sebuah perubahan yang menyentuh, sebuah cerita yang takkan pernah terlupakan.
Saat kereta meluncur melewati stasiun pertama, saya menyadari keheningan yang tak biasa. Tak ada suara notifikasi yang memecah kesunyian, tak ada obrolan acak yang biasanya bergema di gerbong. Semua orang tenggelam dalam dunianya masing-masing.
Namun, anehnya, kali ini dunia mereka bukanlah layar ponsel atau tablet---melainkan halaman-halaman buku yang tebal dan nyata, terbungkus sampul lusuh atau baru. Ya, mereka membaca buku.
Saya menyandarkan kepala ke jendela, memperhatikan pemandangan yang tak lazim ini. Perlahan, mata saya tertuju pada penumpang di sebelah saya.
Seorang pria, dengan wajah tenang dan serius, sedang membuka lembaran tebal dari buku berjudul Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Ada kedamaian di sana---bukan hanya pada wajah pria itu, tapi juga dalam keheningan yang menyelimuti seluruh gerbong.
***
Sejujurnya, saya tak ingat kapan terakhir kali saya memegang sebuah buku fisik.
Sejak teknologi merajai kehidupan sehari-hari, membaca bagi saya hanyalah sekadar menyapu konten di layar ponsel, artikel pendek di media sosial, atau mungkin sekilas berita yang melintas di notifikasi.
Entah kapan saya berhenti mencintai buku, namun pagi itu, kenangan akan masa-masa dulu mulai menghampiri.
Dulu, saat saya masih kecil, buku adalah teman terbaik. Saya selalu membawa satu buku kemanapun saya pergi, entah itu petualangan Enid Blyton atau kisah klasik Mark Twain.