Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik.

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Tantangan Awal Prabowo Subianto: Mengelola Ekspansi dan Efisiensi di Tengah Harapan Tinggi

16 Oktober 2024   08:06 Diperbarui: 16 Oktober 2024   08:20 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 20 Oktober mendatang, Prabowo Subianto akan dilantik sebagai presiden kedelapan Indonesia. Dengan mandat yang diperoleh dari koalisi besar partai politik, banyak yang menanti bagaimana arah kepemimpinannya dalam mengatasi berbagai tantangan nasional.

Di satu sisi, Prabowo memiliki visi ambisius untuk membawa Indonesia maju, tetapi di sisi lain, ia dihadapkan pada risiko besar: apakah ia bisa mencapai janji-janjinya sambil mengelola pemerintahan yang efisien?

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Prabowo adalah kemungkinan perluasan kabinetnya, sebuah langkah yang diperkirakan untuk merangkul koalisi politiknya yang luas, yang mencakup Gerindra, Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Meskipun koalisi ini penting untuk menjaga stabilitas politik, ia juga membawa risiko tersendiri: kabinet yang membengkak dapat mengarah pada eksekutif yang tidak efisien—fenomena yang telah dialami pada masa pemerintahan sebelumnya, termasuk di bawah Presiden Jokowi.

Kabinet yang terlalu besar kerap mengalami masalah koordinasi yang tidak efektif. Laporan-laporan berita menyebutkan bahwa kabinet Prabowo bisa mencapai 44 hingga 46 menteri, jauh di atas batas 34 menteri yang sebelumnya diatur dalam undang-undang.

Undang-undang baru yang disahkan pada 20 September menghapus batasan tersebut, memberikan Prabowo kebebasan untuk memperluas kabinetnya. Namun, besarnya jumlah menteri tidak selalu berarti efektif.

Seperti yang diungkapkan oleh Yohanes Sulaiman, seorang pengamat politik dari Universitas Jenderal Achmad Yani, “Kabinet yang terlalu besar bisa menjadi tidak terkendali, memperlambat pengambilan keputusan dan menghambat pelaksanaan program.”

Kondisi ini jelas bisa memperlambat realisasi visi Prabowo, terutama janji-janji populis yang menjadi daya tarik kampanyenya. Jika ekspansi kabinet lebih berfokus pada pembagian posisi politik ketimbang efisiensi, program-program penting mungkin tertunda atau bahkan terabaikan.

Namun, Prabowo bisa memanfaatkan pendekatan lain. Mengingat latar belakang militernya, ia mungkin akan memilih jalur sentralisasi kekuasaan, mirip dengan pendekatan yang digunakan di era Orde Baru.

Dengan menciptakan Sekretaris Presiden untuk Pengendalian Operasi Pembangunan, Prabowo bisa memastikan bahwa arah pembangunan nasional tetap di bawah kendali ketatnya.

Struktur komando militer yang jelas, dari pusat hingga daerah, dapat menjadi solusi untuk menjaga agar program-program besar berjalan sesuai rencana, terutama dalam menangani masalah ketimpangan ekonomi dan pengangguran.

Namun, sentralisasi juga menghadirkan risiko. Otonomi daerah yang telah dibangun sejak jatuhnya Suharto mungkin menghadapi tantangan jika Prabowo mendorong pengambilan keputusan kembali ke pusat.

Ini bisa memicu ketegangan dengan pemerintah daerah, yang selama ini memiliki kebebasan lebih dalam mengelola urusan regional mereka. Oleh karena itu, Prabowo perlu memastikan bahwa sentralisasi tidak mengikis inovasi daerah atau menimbulkan persepsi bahwa pemerintah pusat terlalu mengontrol.

Dari segi kebijakan ekonomi, Prabowo menetapkan target ambisius pertumbuhan ekonomi hingga 9 persen pada akhir masa jabatannya. Untuk mencapai hal ini, ia perlu memperkuat industri dalam negeri dan mengurangi ketergantungan Indonesia pada ekspor komoditas.

Di sinilah pentingnya kelanjutan kerjasama dengan Jokowi. Jika Prabowo bisa melanjutkan pembangunan infrastruktur yang telah dimulai oleh Jokowi sambil mengembangkan kebijakan yang menarik investasi asing dan memperkuat manufaktur dalam negeri, maka ada kemungkinan besar ia bisa memenuhi janji-janji ekonominya.

Namun, hubungan antara Prabowo dan Jokowi tidak selalu mulus. Kontroversi terbaru, seperti skandal “Fufufafa” yang melibatkan Gibran Rakabuming Raka, memperlihatkan potensi ketegangan antara kedua kubu. Ke depannya, keberhasilan Prabowo dalam menjaga dukungan dari Jokowi dan basis pendukungnya akan sangat menentukan kelancaran transisi kekuasaan ini.

Dalam bidang kebijakan sosial, Prabowo menawarkan sejumlah program populis, termasuk makan gratis untuk siswa dan perluasan skema perlindungan sosial. Program-program ini mungkin terdengar menarik di atas kertas, tetapi pelaksanaannya tidak akan mudah.

Indonesia memiliki keterbatasan fiskal, dan memperluas bantuan sosial secara signifikan membutuhkan perencanaan anggaran yang cermat. Faisal Basri, seorang ekonom terkemuka, memperingatkan bahwa "tanpa memperbaiki efisiensi dalam pengumpulan pajak dan pengeluaran publik, pemerintah bisa berisiko mengambil terlalu banyak beban keuangan." Tanpa sumber pendanaan yang berkelanjutan, program-program tersebut bisa terhenti di tengah jalan, menimbulkan ketidakpuasan publik.

Keberhasilan Prabowo tidak hanya bergantung pada seberapa luas program yang ia jalankan, tetapi juga pada bagaimana ia mereformasi tata kelola pemerintahan. Kementerian-kementerian baru yang direncanakan harus memiliki tujuan yang jelas dan bukan sekadar alat untuk membagi-bagi kekuasaan di antara pendukung politik.

Selain itu, pemerintahannya harus memprioritaskan pengembangan kapasitas dalam lembaga-lembaga negara agar mampu memberikan layanan publik yang efektif, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan reformasi ekonomi.

Pada akhirnya, kepemimpinan Prabowo akan sangat ditentukan oleh kemampuannya menyeimbangkan ambisi besar dengan tata kelola yang efisien. Ekspansi kabinet memang bisa menjadi jalan untuk menciptakan stabilitas politik, tetapi efisiensi tidak boleh dikorbankan.

Prabowo perlu membangun pemerintahan yang ramping, terkoordinasi, dan fokus pada hasil nyata. Di tengah dinamika politik yang kompleks, Indonesia memandang masa depan dengan harapan bahwa presiden barunya mampu memimpin dengan visi yang jelas, disiplin, dan tujuan yang kuat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun