Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik.

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Menavigasi Era Digital, Antara Pengetahuan dan Kepura-puraan

14 Oktober 2024   08:30 Diperbarui: 14 Oktober 2024   08:33 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Sumber: huitu.com

Saat ini, lebih mudah terlihat pintar daripada benar-benar menjadi pintar. Tidak, ini bukan hanya tentang seberapa banyak orang tahu, melainkan bagaimana mereka menampilkannya di media sosial.

Ada yang menyebutnya "pengetahuan performatif" --- sebuah istilah yang menggambarkan kepura-puraan intelektual demi penampilan sosial. Ini bukan fenomena baru, tetapi di era digital, kepura-puraan semacam ini mencapai skala yang tak terbayangkan sebelumnya. Setiap orang memiliki panggung, dan yang penting bukan lagi isi kepala, tetapi bagaimana penonton melihatnya.

Bagaimana ini terjadi? Mengapa kita tiba-tiba lebih peduli tentang tampilan pengetahuan daripada substansi? Apakah manusia sudah berubah menjadi spesies yang lebih tertarik pada efek dramatis daripada argumen logis?

Jika kita bisa menelusuri akar masalahnya, jawabannya mungkin bukan hanya soal bagaimana kita belajar, tetapi lebih kepada bagaimana kita ingin terlihat belajar.

Demokratisasi Pengetahuan, Berkah atau Kutukan?

Mari mulai dari revolusi yang luar biasa: akses informasi. Dulu, hanya segelintir orang yang bisa masuk ke perpustakaan besar, meneliti jurnal-jurnal akademis, atau bahkan sekadar membaca karya-karya besar para pemikir dunia. Sekarang? Cukup buka browser. LibGen, Sci-Hub, Google Scholar, YouTube --- semuanya memungkinkan siapa saja menjadi "ahli" dalam berbagai bidang, setidaknya di permukaan.

Ambil contoh Nancy Fraser dan kritiknya terhadap "kapitalisme kanibal". Semua orang yang memiliki koneksi internet bisa membaca karya Fraser secara gratis. Ini tentu kabar baik.

Kini, kapitalisme, ekologi, dan masalah sosial bisa diakses oleh siapa saja. Tetapi di sinilah masalahnya: apakah orang benar-benar membacanya? Atau mereka hanya menambahkan judul tersebut dalam daftar buku yang "pernah mereka lihat", tanpa benar-benar memahami apa yang dikatakannya?

Dengan akses informasi tak terbatas, kita tidak lagi bertanya, "Apakah Anda tahu?" melainkan, "Apakah Anda benar-benar paham?" Di tengah tumpukan data dan pengetahuan ini, berapa banyak dari kita yang memanfaatkan kesempatan ini dengan sungguh-sungguh?

Performa Intelektual, Pentas di Era Digital

Fenomena "pengetahuan performatif" adalah bagaimana seseorang bisa tampil pintar tanpa benar-benar tahu banyak. Di platform seperti Twitter dan Instagram, kita bisa menemukan banyak pengguna yang dengan fasih mengutip Aristoteles atau Judith Butler.

Tapi, coba tanyakan lebih dalam, dan Anda mungkin hanya mendapatkan kebingungan yang terbungkus dalam kalimat yang terdengar cerdas.

Ini bukan hanya masalah sosial media. Fenomena ini telah meresap dalam kehidupan sehari-hari. Figur publik, termasuk politisi, seringkali lebih dikenal karena pencitraan intelektual mereka daripada karena gagasan substansial.

Sebagai contoh, kita bisa melihat figur-figur lokal seperti Pangeran Gibran yang meski mungkin tidak dikenal luas sebagai pembaca buku, mampu memanfaatkan aura intelektual di panggung politik. Dalam masyarakat yang terobsesi dengan penampilan, kepura-puraan seringkali lebih dihargai daripada kenyataan.

Bahkan dalam percakapan sehari-hari, pernahkah Anda merasa bahwa orang lebih suka "nampak tahu" daripada benar-benar mencari tahu? Ini adalah ironi besar di era di mana akses terhadap informasi begitu luas, tetapi kemauan untuk mendalami informasi semakin menipis.

Memahami Fenomena Pengetahuan "Palsu"

Jadi, apakah kita hidup di dunia yang penuh dengan "pengetahuan palsu"? Tidak juga. Ini lebih kompleks dari sekadar benar atau salah. Yang terjadi adalah pergeseran cara kita memandang pengetahuan.

Dulu, pengetahuan dihargai karena substansinya. Sekarang, pengetahuan dihargai karena bagaimana ia disampaikan. Dalam dunia yang serba cepat dan dangkal, menjadi penting untuk cepat tanggap dan menarik perhatian. Hasilnya? Kita lebih sering membagikan informasi yang tampak cerdas daripada benar-benar berusaha memahaminya.

Dalam dunia akademis, situasinya tidak jauh berbeda. Makalah penelitian yang panjang sering kali diringkas menjadi satu paragraf untuk mendapatkan "kesimpulan utama" tanpa benar-benar melihat detail dan argumen di dalamnya.

Kesimpulan-kesimpulan ini kemudian diambil keluar konteks dan dibagikan sebagai "fakta" yang bisa digunakan untuk berbagai agenda. Inilah fenomena pengetahuan performatif, di mana tampil pintar lebih penting daripada benar-benar menjadi pintar.

Kepura-puraan dalam Aksi Isu Perubahan Iklim

Tidak sulit menemukan contoh nyata di mana retorika bertabrakan dengan kenyataan. Salah satu contohnya adalah isu perubahan iklim. Laporan-laporan dari IPCC telah berkali-kali memberikan peringatan keras tentang dampak emisi karbon yang tak terkendali.

Namun, tindakan yang diambil oleh pemerintah di seluruh dunia? Sebagian besar hanya setengah hati, meskipun pidato-pidato mereka penuh dengan jargon lingkungan dan janji kosong.

Banyak dari kita yang membagikan informasi tentang perlunya beralih ke energi terbarukan, menekan emisi, dan menjaga hutan, tetapi seberapa banyak yang benar-benar melakukannya?

Bahkan beberapa perusahaan besar yang menggunakan kampanye pemasaran "hijau" terbukti masih terlibat dalam praktik yang merusak lingkungan di balik layar. Ini adalah contoh klasik dari kesenjangan antara citra dan kenyataan.

Mendorong Keterlibatan Autentik

Lalu, apa solusinya? Apakah kita terjebak dalam siklus penampilan tanpa substansi? Tidak sepenuhnya. Meskipun tantangan ini nyata, ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk mendorong keterlibatan yang lebih autentik.

Pertama, kita perlu mereformasi pendidikan. Ini bukan tentang mengajarkan siswa untuk menghafal lebih banyak, tetapi mengajarkan mereka untuk bertanya lebih banyak. Pendekatan kritis harus menjadi fondasi sistem pendidikan, di mana siswa diajak untuk tidak hanya mengetahui, tetapi juga memahami, menganalisis, dan mengkritisi informasi.

Kedua, kita membutuhkan akuntabilitas di tingkat kebijakan. Pemimpin harus dipaksa untuk bertanggung jawab atas retorika mereka. Janji-janji kosong tentang lingkungan, hak asasi manusia, atau pendidikan tidak boleh dibiarkan tanpa tindakan nyata. Dalam kasus perubahan iklim, ini berarti kebijakan konkret yang benar-benar menekan industri besar untuk lebih bertanggung jawab.

Lebih dari Sekadar Tampilan

Pada akhirnya, kita hidup di dunia yang penuh ironi. Di satu sisi, kita memiliki akses informasi yang tak terbatas. Di sisi lain, banyak dari kita yang terjebak dalam penampilan tanpa substansi. Performa intelektual mungkin menarik, tetapi tanpa pemahaman yang mendalam dan tindakan nyata, itu hanya ilusi.

Di era digital ini, kita perlu lebih waspada dalam membedakan antara apa yang tampak dan apa yang nyata. Pengetahuan tidak hanya soal seberapa banyak kita tahu, tetapi bagaimana kita menggunakan pengetahuan itu untuk memperbaiki dunia di sekitar kita.

Sebuah kutipan yang menarik di media sosial mungkin akan mendapatkan ratusan like, tetapi apakah itu benar-benar membantu menyelesaikan masalah? Itulah pertanyaan besar yang harus kita hadapi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun