Ini bukan hanya masalah sosial media. Fenomena ini telah meresap dalam kehidupan sehari-hari. Figur publik, termasuk politisi, seringkali lebih dikenal karena pencitraan intelektual mereka daripada karena gagasan substansial.
Sebagai contoh, kita bisa melihat figur-figur lokal seperti Pangeran Gibran yang meski mungkin tidak dikenal luas sebagai pembaca buku, mampu memanfaatkan aura intelektual di panggung politik. Dalam masyarakat yang terobsesi dengan penampilan, kepura-puraan seringkali lebih dihargai daripada kenyataan.
Bahkan dalam percakapan sehari-hari, pernahkah Anda merasa bahwa orang lebih suka "nampak tahu" daripada benar-benar mencari tahu? Ini adalah ironi besar di era di mana akses terhadap informasi begitu luas, tetapi kemauan untuk mendalami informasi semakin menipis.
Memahami Fenomena Pengetahuan "Palsu"
Jadi, apakah kita hidup di dunia yang penuh dengan "pengetahuan palsu"? Tidak juga. Ini lebih kompleks dari sekadar benar atau salah. Yang terjadi adalah pergeseran cara kita memandang pengetahuan.
Dulu, pengetahuan dihargai karena substansinya. Sekarang, pengetahuan dihargai karena bagaimana ia disampaikan. Dalam dunia yang serba cepat dan dangkal, menjadi penting untuk cepat tanggap dan menarik perhatian. Hasilnya? Kita lebih sering membagikan informasi yang tampak cerdas daripada benar-benar berusaha memahaminya.
Dalam dunia akademis, situasinya tidak jauh berbeda. Makalah penelitian yang panjang sering kali diringkas menjadi satu paragraf untuk mendapatkan "kesimpulan utama" tanpa benar-benar melihat detail dan argumen di dalamnya.
Kesimpulan-kesimpulan ini kemudian diambil keluar konteks dan dibagikan sebagai "fakta" yang bisa digunakan untuk berbagai agenda. Inilah fenomena pengetahuan performatif, di mana tampil pintar lebih penting daripada benar-benar menjadi pintar.
Kepura-puraan dalam Aksi Isu Perubahan Iklim
Tidak sulit menemukan contoh nyata di mana retorika bertabrakan dengan kenyataan. Salah satu contohnya adalah isu perubahan iklim. Laporan-laporan dari IPCC telah berkali-kali memberikan peringatan keras tentang dampak emisi karbon yang tak terkendali.
Namun, tindakan yang diambil oleh pemerintah di seluruh dunia? Sebagian besar hanya setengah hati, meskipun pidato-pidato mereka penuh dengan jargon lingkungan dan janji kosong.
Banyak dari kita yang membagikan informasi tentang perlunya beralih ke energi terbarukan, menekan emisi, dan menjaga hutan, tetapi seberapa banyak yang benar-benar melakukannya?
Bahkan beberapa perusahaan besar yang menggunakan kampanye pemasaran "hijau" terbukti masih terlibat dalam praktik yang merusak lingkungan di balik layar. Ini adalah contoh klasik dari kesenjangan antara citra dan kenyataan.