Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik.

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemerintahan Tanpa Oposisi, Apakah Masih Demokrasi?

5 Oktober 2024   15:27 Diperbarui: 5 Oktober 2024   15:48 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 ILUSTRASI| Sumber gambar: onlys.ky

Di sebuah ruang tanpa kritik, kekuasaan berisiko melaju tanpa kendali.

Tahun 2024 menjadi momen penting bagi Indonesia, di mana Pilkada serentak menjadi sorotan, bersamaan dengan munculnya tanda-tanda bahwa koalisi partai politik, termasuk PDIP, semakin dekat dengan pemerintahan Prabowo-Gibran. Namun, di tengah dinamika ini, sebuah pertanyaan besar muncul: di mana oposisi berada? Jika semua pihak bersatu dalam satu barisan kekuasaan, apa yang terjadi dengan mekanisme kontrol dan pengawasan?

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar ungkapan seperti, "Kritik harus disertai solusi", "Hak asasi harus diimbangi dengan kewajiban", dan "Kebebasan harus bertanggung jawab". Ucapan-ucapan ini sering dilontarkan oleh pihak berkuasa seolah-olah penuh kebijaksanaan. Namun, jika kita merenungkannya lebih dalam, ada manipulasi halus yang menyertai. Ungkapan-ungkapan ini tampak mengandung kearifan, tetapi bisa menjadi alat ampuh untuk memadamkan kritik. Mari kita lihat lebih dekat makna sebenarnya di balik narasi-narasi ini.

Kritik Harus Disertai Solusi?

"Kritik harus disertai solusi" sering terdengar seperti aturan tak tertulis dalam bernegara. 

Bagi banyak orang, ini terasa masuk akal. Namun, apakah benar setiap kritik harus selalu datang dengan solusi? Di sinilah letak permasalahannya. Kritik pada dasarnya adalah bentuk ketidakpuasan terhadap situasi atau kebijakan yang tidak ideal. Ia bisa menjadi alarm, sebuah peringatan bahwa ada yang tidak beres. Menuntut solusi dari setiap kritik berarti memaksa semua orang untuk menjadi ahli dalam setiap permasalahan yang mereka kritisi. Bukankah tugas penyelesaian justru berada di tangan mereka yang telah diberikan mandat dan anggaran oleh rakyat?

Ketika oposisi politik menjadi lemah, peran kritik dari luar pemerintahan menjadi sangat krusial. Dalam sebuah demokrasi yang sehat, oposisi berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan, memantau kebijakan dan keputusan penguasa. Namun, ketika semua partai politik merapat ke pemerintahan, seperti yang mungkin terjadi dengan PDIP di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran, siapa yang akan mengawasi pemerintah? Di sinilah letak pentingnya peran publik, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil. Mereka harus mengambil alih peran oposisi agar tetap ada pengawasan terhadap kekuasaan yang nyaris absolut.

Hak Asasi dan Kewajiban Asasi

Sering kita dengar pula bahwa "hak asasi manusia harus diimbangi dengan kewajiban".

Pernyataan ini terdengar wajar, tetapi sebenarnya berpotensi menyesatkan. Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada setiap individu sejak lahir. Negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin hak-hak ini terpenuhi. Namun, narasi yang berkembang sering kali memutarbalikkan logika ini, seolah-olah hak asasi hanya bisa dinikmati setelah kita memenuhi sejumlah kewajiban.

Jika kita menerima logika ini, maka hak-hak dasar warga negara bisa dipermainkan. Tuntutan hak bisa diabaikan dengan alasan bahwa kewajiban belum terpenuhi. Ketika tidak ada oposisi yang cukup kuat untuk mengangkat isu-isu seperti ini di parlemen, beban ini kembali jatuh pada publik. Masyarakat harus sadar bahwa hak asasi adalah sesuatu yang tak bisa ditawar. Tidak ada syarat yang perlu dipenuhi untuk menikmati hak-hak tersebut. Dalam pemerintahan tanpa oposisi, rakyat harus lebih waspada agar hak-hak mereka tidak terkikis dengan mudah.

Kebebasan yang Bertanggung Jawab?

Ungkapan "kebebasan yang bertanggung jawab" sering diangkat untuk mengingatkan bahwa kebebasan harus digunakan dengan bijak.

Namun, apakah ini berarti kebebasan itu sendiri harus dibatasi? Kebebasan pada dasarnya adalah hak yang dimiliki setiap individu. Tanggung jawab, di sisi lain, adalah sesuatu yang datang setelah kebebasan itu digunakan. Bukan kebebasan yang perlu diatur, tetapi bagaimana kita bertindak setelah menggunakan kebebasan itulah yang perlu dipertanggungjawabkan.

Dalam konteks politik Indonesia, ketika hampir semua partai politik cenderung merapat ke pemerintah, narasi tentang "kebebasan yang bertanggung jawab" bisa menjadi pedang bermata dua. Kekuasaan yang besar tanpa pengawasan bisa saja menekan kebebasan berekspresi dengan dalih tanggung jawab. Di sini, peran oposisi kembali menjadi penting, tetapi jika oposisi lemah atau bahkan tidak ada, kebebasan itu sendiri bisa terancam. Rakyat perlu mempertahankan kebebasan untuk menyampaikan kritik, bahkan jika kritik itu tidak selalu datang dengan solusi.

Demokrasi Tanpa Oposisi, Masihkah Demokrasi?

Ketika semakin jelas bahwa PDIP akan bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran, muncul kekhawatiran tentang hilangnya oposisi yang efektif.

Hampir semua partai besar kini berada dalam satu barisan kekuasaan. Demokrasi, yang idealnya dijalankan dengan sistem check and balance, berisiko lumpuh ketika tidak ada pihak yang benar-benar mengawasi penguasa. Apakah kita masih bisa menyebut sistem ini sebagai demokrasi jika tidak ada oposisi yang kuat?

Dalam banyak negara demokratis, oposisi bukan sekadar penentang kebijakan, tetapi juga penjaga akuntabilitas. Mereka memastikan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas setiap keputusan yang diambil. Namun, ketika semua partai politik bersatu di bawah satu payung kekuasaan, tugas oposisi harus diambil alih oleh rakyat, media, dan akademisi. Sayangnya, dalam kenyataan politik Indonesia, media pun sering kali terkooptasi oleh kekuasaan. Ini membuat peran oposisi dari luar parlemen menjadi semakin sulit.

Pentingnya Kritik dalam Menjaga Demokrasi

Ketika pemerintah bergerak tanpa oposisi, kritik dari masyarakat menjadi satu-satunya alat untuk menjaga keseimbangan kekuasaan.

Kritik yang datang dari rakyat, meski tanpa solusi, adalah bagian penting dari proses demokrasi. Pemerintah harus terbuka terhadap kritik ini dan tidak mengabaikannya hanya karena kritik tersebut tidak menawarkan jalan keluar yang jelas. Tanggung jawab pemerintah adalah menemukan solusi, bukan membungkam kritik.

Tanpa kritik yang bebas, kekuasaan bisa dengan mudah menjadi otoriter. Dalam sistem demokrasi yang ideal, kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik adalah hak yang harus dijaga. Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang mendengarkan kritik, bukan yang menekannya.

Harapan di Tengah Ketidakpastian

Pilkada serentak 2024 menawarkan harapan baru bagi demokrasi Indonesia.

Di tengah kekuatan pusat yang semakin dominan, para pemimpin daerah yang terpilih melalui Pilkada memiliki peluang untuk menjadi agen perubahan. Mereka bisa menjadi penyeimbang kekuasaan di tingkat lokal, meskipun tantangan besar tetap ada. Apakah mereka akan berani mengkritik pemerintah pusat, terutama jika semua partai politik, termasuk PDIP, berada di dalam satu koalisi kekuasaan?

Di sinilah letak tantangan terbesar bagi demokrasi Indonesia. Para pemimpin daerah yang terpilih harus mampu membawa perubahan dan menjadi penyeimbang bagi kekuasaan pusat. Mereka tidak boleh hanya menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, tetapi harus berani mengangkat suara rakyat yang mereka wakili.

Kritik adalah Benteng Demokrasi

Dalam demokrasi yang sehat, kritik adalah salah satu pilar utama.

Kritik yang konstruktif, meskipun tanpa solusi, harus dihargai karena ia menjadi pengingat bagi penguasa bahwa kekuasaan mereka tetap diawasi. Hak asasi manusia tidak boleh dipertaruhkan dengan alasan kewajiban, dan kebebasan tidak boleh dibatasi hanya dengan dalih tanggung jawab.

Pemerintahan tanpa oposisi bukan berarti akhir dari demokrasi, tetapi demokrasi hanya bisa bertahan jika rakyat tetap berani menyuarakan kritik mereka. Pilkada 2024 adalah kesempatan untuk memilih pemimpin yang berani berbicara untuk rakyat, bukan hanya untuk kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun