Suatu sore, di sudut ruangan, seorang anak duduk diam, wajahnya terpantul samar dari layar kecil di tangannya.
Ini bukanlah pemandangan yang asing. Sebuah gambaran yang sangat akrab di kehidupan keluarga modern, di mana teknologi digital telah merasuk dalam rutinitas sehari-hari, menyusup ke ruang-ruang paling pribadi: rumah kita.
Pemandangan seperti ini, meski terlihat biasa, menyimpan banyak cerita. Bagaimana kita sebagai orang tua memahami dunia yang anak-anak kita hadapi setiap hari melalui teknologi?
Di era ini, literasi digital menjadi hal yang sangat mendesak untuk dibicarakan.
Namun, sayangnya, seringkali terlupakan bahwa keluarga, sebagai unit interaksi pertama bagi anak-anak, menjadi kunci dalam membangun pondasi literasi digital.
Jika diibaratkan, keluarga adalah fondasi dari sebuah bangunan besar, tempat utama dimana kemampuan anak dalam memilah, memahami, dan menggunakan informasi di era digital. Tanpa fondasi yang kokoh, bangunan itu mudah roboh ketika diterpa badai informasi yang membanjiri kehidupan kita setiap hari.
Dari Buku ke HP
Saya ingat dengan jelas bagaimana di masa kecil saya, buku adalah sahabat setia.
Waktu luang yang terasa sepi, tanpa teman atau keramaian, diisi dengan tenggelam dalam bacaan. Buku tidak pernah menuntut apa pun, dia adalah teman yang selalu setia menemani tanpa pamrih. Menghabiskan waktu berjam-jam untuk "nongkrong" dengan buku adalah sebuah kenikmatan tersendiri. Namun, dunia kini sudah berubah. Anak-anak kita tidak lagi hanya memiliki buku sebagai teman belajar. Dunia digital membuka akses yang luas, sebuah pintu gerbang ke segala macam informasi.
Perubahan ini membawa tantangan tersendiri bagi para orang tua. Literasi kini bukan lagi soal sekadar kemampuan membaca atau menulis. Sebagaimana diungkapkan oleh Paul Gilster dalam bukunya Digital Literacy, literasi digital adalah kemampuan memahami dan menggunakan informasi dari berbagai bentuk dan sumber yang luas, diakses melalui perangkat digital. Literasi digital menuntut kita untuk tidak hanya tahu cara menggunakan perangkat, tetapi juga memahami informasi yang diserap, memilahnya dengan kritis, dan menggunakannya dengan bijak. Namun, apakah kita sebagai orang tua sudah siap menghadapi tantangan ini?
Tantangan Pola Asuh Digital
Di Indonesia, pola asuh digital masih sering terjebak dalam dilema. Banyak orang tua lebih cenderung melarang daripada memberikan bimbingan yang tepat.
Pola asuh otoriter sering kali terlihat sebagai solusi cepat dan praktis. "Jangan main game terlalu lama!" atau "Jangan buka situs itu!" adalah kalimat-kalimat yang sering terdengar. Namun, larangan tanpa pemahaman tidak membangun kesadaran. Sebaliknya, hal ini justru dapat menciptakan jarak antara orang tua dan anak dalam urusan teknologi.
Penelitian dari Sonia Livingston menunjukkan bahwa di negara-negara berpenghasilan tinggi, anak-anak lebih percaya diri berbicara dengan orang tua mereka ketika menemukan konten negatif di internet. Hal ini terjadi karena adanya komunikasi yang terbuka dan bimbingan yang diberikan sejak dini.Â
Di sisi lain, di negara berpenghasilan rendah, anak-anak lebih memilih berdiskusi dengan teman sebaya mereka daripada orang tua. Pola asuh yang terlalu membatasi tanpa memberikan panduan yang jelas sering kali menjadi penyebab anak-anak merasa canggung atau takut untuk meminta bantuan orang tua.
Sebagai orang tua, kita cenderung lebih khawatir terhadap risiko nyata di dunia fisik, seperti narkoba atau kenakalan remaja, dibandingkan bahaya yang mengintai di dunia digital.Â
Padahal, risiko di dunia maya tidak kalah besar. Anak-anak kita bisa dengan mudah terpapar pada konten kekerasan, pornografi, atau hoaks, tanpa adanya pengawasan yang memadai.
Langkah Awal Menuju Literasi Digital di Rumah
Literasi digital tidak berhenti pada kemampuan menggunakan teknologi.
Ini tentang memahami bagaimana teknologi dan informasi mempengaruhi kehidupan kita. Dalam konteks keluarga, ini berarti membimbing anak-anak untuk kritis terhadap informasi yang mereka temukan, serta memberikan contoh bagaimana teknologi dapat digunakan secara bijak.
Melibatkan keluarga dalam literasi digital adalah langkah awal yang esensial. Komunikasi yang terbuka antara orang tua dan anak sangatlah penting. Saya sering mengajak anak-anak saya untuk melihat bagaimana saya menyaring informasi saat membaca berita online atau ketika berdiskusi tentang konten yang mereka temukan di internet.
Dengan memberikan contoh, mereka belajar lebih banyak daripada hanya mendengar nasihat atau larangan. Pepatah lama, "Melihat jauh lebih cespleng daripada berkata-kata", sangat relevan dalam hal ini. Anak-anak belajar dari apa yang mereka saksikan, lebih daripada dari apa yang mereka dengar.
Sebagai orang tua, peran kita tidak hanya sebagai pengawas, tetapi juga sebagai fasilitator. Kita perlu membuka ruang diskusi tentang teknologi dan informasi di rumah. Mengajari anak untuk bertanya sebelum percaya pada informasi yang mereka temukan di internet, untuk tidak ragu menyaring informasi, dan untuk kritis terhadap apa yang mereka baca atau tonton. Dengan begitu, kita bukan hanya mendidik anak untuk menjadi pengguna teknologi yang cerdas, tetapi juga manusia yang kritis dan bijak.
Literasi Adalah Sikap Mental
Literasi, dalam pengertian yang lebih luas, bukan hanya soal kemampuan teknis membaca dan menulis.
Literasi adalah sikap mental yang mencakup tiga hal: rakus akan pengetahuan, keinginan untuk memahami secara menyeluruh dari berbagai sudut pandang, dan tetap kritis serta skeptis selama proses tersebut. Sikap ini tidak hanya terbatas pada buku atau internet, tetapi mencakup segala bentuk pengetahuan, baik itu fisika kuantum atau hal-hal sederhana dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam era digital ini, keluarga harus menjadi tempat di mana literasi ini tumbuh dan berkembang. Kita perlu mengajarkan anak bahwa pengetahuan bisa datang dari mana saja, tidak hanya dari buku pelajaran. Dengan begitu, kita membentuk mereka menjadi individu yang haus akan pengetahuan, tidak hanya mengandalkan satu sumber, dan selalu berpikir kritis.
Keluarga sebagai Basis Literasi Digital
Di masa depan, literasi digital akan menjadi lebih penting seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin cepat.Â
Keluarga harus menjadi benteng pertama yang membekali anak-anak dengan kemampuan untuk memahami, memilah, dan menggunakan informasi secara bijak. Tanpa keterlibatan aktif dari keluarga, anak-anak akan mudah tersesat dalam derasnya arus informasi yang tersedia di dunia digital.
Penting bagi kita sebagai orang tua untuk terus belajar dan mengikuti perkembangan teknologi, sehingga kita bisa memberikan panduan yang tepat kepada anak-anak kita. Literasi digital bukanlah keterampilan yang bisa dikuasai dalam semalam, tetapi proses panjang yang membutuhkan kerjasama antara orang tua dan anak.Â
Dengan komunikasi yang terbuka, contoh yang baik, dan sikap kritis terhadap informasi, kita bisa menciptakan generasi yang literat secara digital, siap menghadapi tantangan masa depan.
Akhir kata, dalam dunia yang serba digital ini, keluarga tetap menjadi tempat pertama di mana anak belajar tentang kehidupan, termasuk bagaimana menghadapi teknologi. Literasi digital bukan hanya keterampilan teknis, tetapi juga sikap hidup yang harus ditanamkan sejak dini. Dan kita, sebagai orang tua, adalah kuncinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H