Pola asuh otoriter sering kali terlihat sebagai solusi cepat dan praktis. "Jangan main game terlalu lama!" atau "Jangan buka situs itu!" adalah kalimat-kalimat yang sering terdengar. Namun, larangan tanpa pemahaman tidak membangun kesadaran. Sebaliknya, hal ini justru dapat menciptakan jarak antara orang tua dan anak dalam urusan teknologi.
Penelitian dari Sonia Livingston menunjukkan bahwa di negara-negara berpenghasilan tinggi, anak-anak lebih percaya diri berbicara dengan orang tua mereka ketika menemukan konten negatif di internet. Hal ini terjadi karena adanya komunikasi yang terbuka dan bimbingan yang diberikan sejak dini.Â
Di sisi lain, di negara berpenghasilan rendah, anak-anak lebih memilih berdiskusi dengan teman sebaya mereka daripada orang tua. Pola asuh yang terlalu membatasi tanpa memberikan panduan yang jelas sering kali menjadi penyebab anak-anak merasa canggung atau takut untuk meminta bantuan orang tua.
Sebagai orang tua, kita cenderung lebih khawatir terhadap risiko nyata di dunia fisik, seperti narkoba atau kenakalan remaja, dibandingkan bahaya yang mengintai di dunia digital.Â
Padahal, risiko di dunia maya tidak kalah besar. Anak-anak kita bisa dengan mudah terpapar pada konten kekerasan, pornografi, atau hoaks, tanpa adanya pengawasan yang memadai.
Langkah Awal Menuju Literasi Digital di Rumah
Literasi digital tidak berhenti pada kemampuan menggunakan teknologi.
Ini tentang memahami bagaimana teknologi dan informasi mempengaruhi kehidupan kita. Dalam konteks keluarga, ini berarti membimbing anak-anak untuk kritis terhadap informasi yang mereka temukan, serta memberikan contoh bagaimana teknologi dapat digunakan secara bijak.
Melibatkan keluarga dalam literasi digital adalah langkah awal yang esensial. Komunikasi yang terbuka antara orang tua dan anak sangatlah penting. Saya sering mengajak anak-anak saya untuk melihat bagaimana saya menyaring informasi saat membaca berita online atau ketika berdiskusi tentang konten yang mereka temukan di internet.
Dengan memberikan contoh, mereka belajar lebih banyak daripada hanya mendengar nasihat atau larangan. Pepatah lama, "Melihat jauh lebih cespleng daripada berkata-kata", sangat relevan dalam hal ini. Anak-anak belajar dari apa yang mereka saksikan, lebih daripada dari apa yang mereka dengar.
Sebagai orang tua, peran kita tidak hanya sebagai pengawas, tetapi juga sebagai fasilitator. Kita perlu membuka ruang diskusi tentang teknologi dan informasi di rumah. Mengajari anak untuk bertanya sebelum percaya pada informasi yang mereka temukan di internet, untuk tidak ragu menyaring informasi, dan untuk kritis terhadap apa yang mereka baca atau tonton. Dengan begitu, kita bukan hanya mendidik anak untuk menjadi pengguna teknologi yang cerdas, tetapi juga manusia yang kritis dan bijak.
Literasi Adalah Sikap Mental
Literasi, dalam pengertian yang lebih luas, bukan hanya soal kemampuan teknis membaca dan menulis.