Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik.

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merasi: Konflik Air, Aglomerasi, dan Munculnya Ekonomi Sawah-Taman di Daerah Transmigrasi

5 Oktober 2024   10:01 Diperbarui: 5 Oktober 2024   13:19 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Merasi: Kisah yang Terus Berkembang di Bawah Bayang-Bayang Aglomerasi

Saya ingat betul, ketika pertama kali menginjakkan kaki di Desa Kalibening, bagian dari wilayah yang sering disebut Merasi, suatu istilah lokal untuk aglomerasi di Musi Rawas, Sumatera Selatan.

Merasi adalah nama yang digunakan masyarakat setempat, seolah membentuk jembatan antara masa lalu yang penuh cerita kolonial dan masa kini yang dipenuhi berbagai tantangan baru. Kehidupan di daerah ini, yang dahulu didorong oleh transmigrasi, kini telah berubah drastis. Wilayah yang dulunya hanya hamparan sawah dengan sistem pengairan tradisional, kini terhubung dalam jaringan aglomerasi yang kompleks. Di sini, konflik kepentingan antara perkembangan ekonomi modern dan warisan agraria yang masih sangat kuat mulai muncul ke permukaan.

Dari Sawah ke Kolam, Petani dan Pemilik Kolam Bertikai

Seiring berkembangnya aglomerasi di wilayah ini, salah satu masalah yang kerap kali dihadapi adalah konflik air antara petani sawah dan pemilik kolam ikan. Air adalah nyawa bagi lahan pertanian, tapi di Merasi, air juga menjadi penopang bisnis kolam ikan yang sedang menjamur di desa-desa eks transmigrasi.

Suatu hari saya mendengar seorang petani tua berbicara keras di pinggir sawah. Ia mengeluhkan bagaimana air yang biasa mengalir ke sawahnya kini semakin sedikit karena saluran air sudah diambil alih oleh pemilik kolam ikan. "Dulu kita hanya perlu menunggu irigasi dari bendungan, sekarang air sudah direbut oleh kolam-kolam ini. Kami kehilangan hasil panen," keluhnya.

Konflik ini menjadi semakin parah ketika beberapa pemilik kolam mulai menggali sumur bor untuk kebutuhan kolam mereka. Padahal, sumur bor ini memperparah masalah ketersediaan air untuk pertanian. Tidak hanya di Kalibening, konflik serupa juga terjadi di berbagai desa lain di Merasi, terutama di daerah yang dulunya dikenal dengan nama SP1 dan SP2.

Ada semacam ironi yang tak bisa diabaikan---pembangunan yang dianggap sebagai penanda kemajuan justru membuat sebagian petani semakin terpinggirkan. Bagi petani, air adalah elemen vital bagi kelangsungan hidup mereka. Sementara bagi pemilik kolam ikan, air adalah aset bisnis. Konflik ini menjadi simbol ketegangan antara warisan pertanian di daerah transmigrasi dan ekonomi modern yang mulai menggeliat di Merasi.

Munculnya "Sawah-Taman" dan Fenomena Baru

Aglomerasi membawa perubahan besar, termasuk dalam cara masyarakat memanfaatkan lahan pertanian.

Lahan sawah yang dulunya hanya digunakan untuk bercocok tanam kini mulai berubah menjadi area bisnis. Beberapa fenomena yang menarik perhatian saya adalah bagaimana sebagian lahan sawah kini disulap menjadi tempat wisata kuliner yang unik. Salah satu contohnya adalah Mahaloka, AKB dan Pengangguran, sebuah konsep kuliner yang memadukan keindahan alam sawah dengan restoran modern di tengah-tengahnya. Anda bisa makan di tengah sawah sambil menikmati pemandangan hamparan hijau dan angin yang semilir, seolah menjadi cara baru untuk menghargai sawah sebagai bagian dari warisan agraria.

Tidak hanya Mahaloka, AKB dan Pengangguran, muncul juga beberapa restoran lain dengan konsep serupa di daerah Merasi. Restoran dengan desain taman, lengkap dengan kolam ikan dan saung di atas air, menjadi daya tarik baru yang memadukan sentuhan modern dengan alam pedesaan. Bisnis-bisnis seperti ini mulai tumbuh subur, menggantikan fungsi lahan pertanian tradisional.

Namun, tak semua orang setuju dengan perubahan ini. Ada warga yang merasa bahwa lahan pertanian tidak seharusnya digunakan untuk bisnis. "Sawah ini adalah warisan. Dulu kami datang ke sini sebagai transmigran untuk bertani. Sekarang, apa yang tersisa dari sawah itu? Tempat makan," ujar seorang petani yang kini hanya bisa menatap sawah yang dulu dia olah kini menjadi tempat parkir mobil pengunjung restoran.

Ada yang berargumen bahwa perubahan ini adalah bentuk adaptasi masyarakat terhadap modernisasi. Namun, ada juga yang merasa kehilangan identitas agraria mereka. Ini bukan hanya soal lahan yang berubah fungsi, tapi lebih kepada bagaimana masyarakat harus bernegosiasi dengan perubahan yang datang begitu cepat.

Di Antara Laju Aglomerasi dan Hilangnya Warung Tradisional

Di sepanjang jalan utama menuju Merasi, saya mulai melihat banyak gerai Indomaret dan Alfamaret yang berjejer di pinggir jalan. Ini adalah fenomena baru yang belum ada beberapa tahun lalu. Masyarakat setempat, yang dahulu mengandalkan warung-warung kecil untuk memenuhi kebutuhan harian mereka, kini semakin beralih ke gerai-gerai modern ini.

Saya pernah bertanya kepada seorang pemilik warung tradisional di salah satu desa di Merasi. "Indomaret dan Alfamaret itu membunuh bisnis kecil kami. Orang sekarang lebih memilih ke sana karena lebih praktis, dan harga pun kadang lebih murah," katanya dengan nada kecewa.

Keberadaan gerai-gerai modern ini, meski membawa kemudahan bagi konsumen, ternyata juga memiliki dampak yang cukup besar terhadap ekonomi lokal. Warung-warung kecil yang dulunya menjadi penopang ekonomi masyarakat desa kini harus bersaing dengan jaringan retail besar. Selain itu, gerai-gerai modern ini juga mempengaruhi budaya belanja masyarakat yang dulu sangat erat dengan interaksi sosial di warung-warung kecil.

Namun, ada sisi lain dari keberadaan gerai modern ini yang juga patut dipertimbangkan. Bagi sebagian masyarakat, terutama generasi muda, keberadaan Alfamaret dan Indomaret dianggap sebagai penanda bahwa daerah mereka mulai berkembang. Mereka tidak lagi harus pergi ke kota untuk mendapatkan barang-barang yang lebih variatif. Bahkan, beberapa anak muda setempat mulai bekerja di gerai-gerai tersebut, membuka peluang kerja baru yang sebelumnya tak ada di desa.

Aglomerasi dan Masa Depan Merasi

Aglomerasi telah mengubah wajah Merasi dalam banyak hal. Dulu, desa-desa ini adalah tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota, tempat para transmigran bekerja keras untuk membuka lahan pertanian baru. Kini, dengan infrastruktur yang terus berkembang dan konektivitas yang semakin baik, Merasi telah berubah menjadi bagian dari jaringan aglomerasi yang lebih besar.

Namun, perubahan ini juga membawa tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana masyarakat lokal bisa tetap bertahan dan beradaptasi dengan perubahan yang begitu cepat. Konflik air antara petani dan pemilik kolam ikan, perubahan fungsi lahan pertanian menjadi tempat bisnis kuliner, hingga munculnya gerai-gerai modern yang menggantikan warung tradisional, semuanya adalah bagian dari proses adaptasi yang tidak selalu berjalan mulus.

Sebagai seseorang yang tinggal di daerah ini, saya menyaksikan bagaimana perkembangan aglomerasi bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ada banyak peluang yang muncul, terutama dalam sektor bisnis dan pekerjaan. Namun, di sisi lain, ada harga yang harus dibayar, seperti hilangnya identitas agraria dan meningkatnya konflik kepentingan di antara masyarakat.

Masa depan Merasi akan sangat tergantung pada bagaimana masyarakatnya bisa bernegosiasi dengan perubahan ini. Bisakah Merasi tetap mempertahankan warisan transmigrasi dan agraria mereka, sambil tetap membuka diri terhadap modernisasi? Ataukah aglomerasi ini akan membuat mereka kehilangan jati diri?

Aglomerasi di Merasi bukanlah fenomena yang sederhana. Ini adalah proses yang melibatkan banyak faktor, mulai dari perkembangan ekonomi, sosial, hingga budaya. Saya berusaha untuk melihat dari kedua sisi: bagaimana aglomerasi membawa peluang sekaligus tantangan. Konflik air antara petani dan pemilik kolam ikan, perubahan fungsi lahan pertanian menjadi bisnis kuliner, hingga munculnya gerai modern seperti Alfamaret dan Indomaret semuanya adalah bagian dari cerita besar yang sedang terjadi di Merasi.

Merasi adalah cerminan dari bagaimana masyarakat Indonesia harus beradaptasi dengan perubahan zaman, sambil tetap berusaha menjaga warisan yang mereka miliki. Bagaimana Merasi akan berkembang di masa depan? Itu adalah pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh waktu. Tapi satu hal yang pasti, perubahan sudah dimulai, dan masyarakat Merasi harus siap untuk menghadapinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun