Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik.

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merasi: Konflik Air, Aglomerasi, dan Munculnya Ekonomi Sawah-Taman di Daerah Transmigrasi

5 Oktober 2024   10:01 Diperbarui: 5 Oktober 2024   13:19 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, tak semua orang setuju dengan perubahan ini. Ada warga yang merasa bahwa lahan pertanian tidak seharusnya digunakan untuk bisnis. "Sawah ini adalah warisan. Dulu kami datang ke sini sebagai transmigran untuk bertani. Sekarang, apa yang tersisa dari sawah itu? Tempat makan," ujar seorang petani yang kini hanya bisa menatap sawah yang dulu dia olah kini menjadi tempat parkir mobil pengunjung restoran.

Ada yang berargumen bahwa perubahan ini adalah bentuk adaptasi masyarakat terhadap modernisasi. Namun, ada juga yang merasa kehilangan identitas agraria mereka. Ini bukan hanya soal lahan yang berubah fungsi, tapi lebih kepada bagaimana masyarakat harus bernegosiasi dengan perubahan yang datang begitu cepat.

Di Antara Laju Aglomerasi dan Hilangnya Warung Tradisional

Di sepanjang jalan utama menuju Merasi, saya mulai melihat banyak gerai Indomaret dan Alfamaret yang berjejer di pinggir jalan. Ini adalah fenomena baru yang belum ada beberapa tahun lalu. Masyarakat setempat, yang dahulu mengandalkan warung-warung kecil untuk memenuhi kebutuhan harian mereka, kini semakin beralih ke gerai-gerai modern ini.

Saya pernah bertanya kepada seorang pemilik warung tradisional di salah satu desa di Merasi. "Indomaret dan Alfamaret itu membunuh bisnis kecil kami. Orang sekarang lebih memilih ke sana karena lebih praktis, dan harga pun kadang lebih murah," katanya dengan nada kecewa.

Keberadaan gerai-gerai modern ini, meski membawa kemudahan bagi konsumen, ternyata juga memiliki dampak yang cukup besar terhadap ekonomi lokal. Warung-warung kecil yang dulunya menjadi penopang ekonomi masyarakat desa kini harus bersaing dengan jaringan retail besar. Selain itu, gerai-gerai modern ini juga mempengaruhi budaya belanja masyarakat yang dulu sangat erat dengan interaksi sosial di warung-warung kecil.

Namun, ada sisi lain dari keberadaan gerai modern ini yang juga patut dipertimbangkan. Bagi sebagian masyarakat, terutama generasi muda, keberadaan Alfamaret dan Indomaret dianggap sebagai penanda bahwa daerah mereka mulai berkembang. Mereka tidak lagi harus pergi ke kota untuk mendapatkan barang-barang yang lebih variatif. Bahkan, beberapa anak muda setempat mulai bekerja di gerai-gerai tersebut, membuka peluang kerja baru yang sebelumnya tak ada di desa.

Aglomerasi dan Masa Depan Merasi

Aglomerasi telah mengubah wajah Merasi dalam banyak hal. Dulu, desa-desa ini adalah tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota, tempat para transmigran bekerja keras untuk membuka lahan pertanian baru. Kini, dengan infrastruktur yang terus berkembang dan konektivitas yang semakin baik, Merasi telah berubah menjadi bagian dari jaringan aglomerasi yang lebih besar.

Namun, perubahan ini juga membawa tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana masyarakat lokal bisa tetap bertahan dan beradaptasi dengan perubahan yang begitu cepat. Konflik air antara petani dan pemilik kolam ikan, perubahan fungsi lahan pertanian menjadi tempat bisnis kuliner, hingga munculnya gerai-gerai modern yang menggantikan warung tradisional, semuanya adalah bagian dari proses adaptasi yang tidak selalu berjalan mulus.

Sebagai seseorang yang tinggal di daerah ini, saya menyaksikan bagaimana perkembangan aglomerasi bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ada banyak peluang yang muncul, terutama dalam sektor bisnis dan pekerjaan. Namun, di sisi lain, ada harga yang harus dibayar, seperti hilangnya identitas agraria dan meningkatnya konflik kepentingan di antara masyarakat.

Masa depan Merasi akan sangat tergantung pada bagaimana masyarakatnya bisa bernegosiasi dengan perubahan ini. Bisakah Merasi tetap mempertahankan warisan transmigrasi dan agraria mereka, sambil tetap membuka diri terhadap modernisasi? Ataukah aglomerasi ini akan membuat mereka kehilangan jati diri?

Aglomerasi di Merasi bukanlah fenomena yang sederhana. Ini adalah proses yang melibatkan banyak faktor, mulai dari perkembangan ekonomi, sosial, hingga budaya. Saya berusaha untuk melihat dari kedua sisi: bagaimana aglomerasi membawa peluang sekaligus tantangan. Konflik air antara petani dan pemilik kolam ikan, perubahan fungsi lahan pertanian menjadi bisnis kuliner, hingga munculnya gerai modern seperti Alfamaret dan Indomaret semuanya adalah bagian dari cerita besar yang sedang terjadi di Merasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun