Sebaliknya, makanan olahan yang sering kali dipilih untuk bekal anak---seperti nugget beku, sosis, atau kue-kue manis dalam kemasan---justru memberi beban pada sistem pencernaan dan kesehatan anak secara keseluruhan.Â
Gula berlebih, misalnya, telah terbukti terkait dengan meningkatnya prevalensi obesitas dan diabetes tipe 2 pada anak-anak . Ini menjadi salah satu alasan mengapa kita harus kritis terhadap pilihan bekal yang kita buat.
Peran Sekolah dalam Menormalisasi Bekal dengan Real Food
Sekolah, sebagai lingkungan kedua bagi anak, memegang peran penting dalam normalisasi kebiasaan makan sehat.
Melalui kebijakan yang mendukung penyediaan makanan sehat dan edukasi gizi, sekolah dapat menjadi agen perubahan.Â
Namun, tantangan terbesar dalam hal ini adalah bahwa normalisasi makan dengan real food membutuhkan dukungan dari semua pihak---guru, orang tua, dan komunitas sekolah.
Beberapa sekolah di negara-negara maju telah menerapkan kebijakan yang mengharuskan orang tua mengemas makanan sehat untuk anak-anak mereka.
Sedangkan di Finlandia, misalnya, kebijakan makan siang di sekolah sangat ketat dan menekankan pada penyediaan makanan sehat yang terdiri dari sayuran, ikan, dan biji-bijian utuh.Â
Hasilnya, angka obesitas di kalangan anak-anak sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lain yang mengandalkan makanan olahan atau junk food di kantin sekolah.
Ini adalah contoh yang menunjukkan bahwa kebijakan dan sistem sekolah memiliki andil besar dalam membentuk kebiasaan makan sehat di kalangan anak-anak.Â
Namun, di Indonesia, kebiasaan membawa bekal yang sering kali berisi makanan cepat saji atau olahan masih dianggap hal yang lumrah. Sekolah harus menjadi tempat yang mendorong perubahan pola makan ini, baik melalui program edukasi kesehatan maupun pemberlakuan regulasi yang ketat terhadap jajanan dan kantin sekolah.
Tantangan dalam Mempromosikan Real Food
Meski penting, normalisasi bekal sekolah dengan real food bukan tanpa tantangan.