Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menghapus Kekerasan di Sekolah, Sebuah Panggilan untuk Revolusi Moral

2 Oktober 2024   23:36 Diperbarui: 3 Oktober 2024   00:39 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | Sumber gambar: magnifychrist.com

Kekerasan di sekolah bukanlah masalah baru.

Namun, kehadirannya yang terus-menerus di tengah masyarakat kita adalah pertanda bahwa ada sesuatu yang sangat salah dalam sistem pendidikan kita.

Ketika seorang siswa harus kehilangan nyawanya karena dihukum secara fisik, atau ketika seorang anak perempuan harus menghadapi trauma akibat pelecehan seksual oleh gurunya, kita tidak bisa lagi menganggap ini sebagai insiden terpisah. Ini adalah gejala dari krisis moral yang jauh lebih dalam, yang membutuhkan perhatian serius dan solusi menyeluruh. Apakah kita hanya akan diam dan membiarkan situasi ini berlanjut?

Dalam upaya untuk menyelesaikan masalah kekerasan di sekolah, banyak solusi yang sudah diajukan. Namun, satu hal yang sering luput dari perhatian adalah bahwa kekerasan di sekolah bukan hanya tentang tindakan fisik atau verbal yang kasat mata.

Kekerasan ini adalah cerminan dari kegagalan kita sebagai masyarakat untuk menanamkan nilai-nilai dasar kemanusiaan dalam pendidikan kita. Oleh karena itu, saya percaya bahwa solusi untuk mengatasi kekerasan di sekolah tidak hanya dapat ditemukan dalam peraturan-peraturan baru atau pengawasan ketat. Solusi ini harus berakar pada sebuah revolusi moral yang menyeluruh, yang melibatkan setiap elemen masyarakat---guru, siswa, orang tua, dan pemerintah.

Kekerasan di Sekolah: Akar Masalah yang Lebih Dalam

Mengapa kekerasan terus terjadi di sekolah?

Jawabannya tidak sesederhana "kurangnya disiplin" atau "kebijakan yang tidak efektif." Akar masalah ini jauh lebih dalam---ia terkait dengan bagaimana kita mendefinisikan otoritas, kekuasaan, dan hubungan antara guru dan siswa.

Dalam banyak kasus, kekerasan di sekolah terjadi karena adanya ketidakseimbangan kuasa yang sangat besar antara pendidik dan anak-anak didik mereka. Dalam budaya yang masih sangat patriarkal, guru sering kali dianggap sebagai figur yang tidak dapat digugat. Posisi otoritas ini, jika tidak dipahami dengan benar, bisa dengan mudah berubah menjadi penyalahgunaan kekuasaan.

Coba kita renungkan: Apa yang membuat seorang guru merasa memiliki hak untuk menghukum seorang siswa dengan squat jump hingga meninggal? 

Atau apa yang membuat seorang guru merasa berhak memanfaatkan ketidakdewasaan emosional seorang siswa untuk mengeksploitasi mereka secara seksual? Jawabannya terletak pada kegagalan kita untuk memahami bahwa otoritas bukanlah tentang dominasi, tetapi tentang tanggung jawab.

Sistem pendidikan kita, sayangnya, masih sangat berorientasi pada model hierarkis, di mana guru adalah otoritas mutlak di dalam kelas. Dalam lingkungan seperti ini, sangat mudah bagi kekuasaan untuk disalahgunakan. Kita lupa bahwa peran guru sebenarnya bukan untuk mengontrol atau mendominasi, tetapi untuk membimbing dan menginspirasi. Ketika otoritas disalahartikan sebagai kekuasaan untuk menghukum dan mengendalikan, maka yang muncul adalah kekerasan.

Membangun Hubungan yang Berlandaskan Rasa Hormat, Bukan Ketakutan

Kunci untuk menghilangkan kekerasan di sekolah terletak pada bagaimana kita membangun hubungan antara guru dan siswa. Alih-alih membangun sistem yang didasarkan pada ketakutan dan hukuman, kita harus mulai beralih ke sistem yang didasarkan pada rasa hormat, empati, dan pengertian.

Seorang siswa bukanlah objek yang bisa dikendalikan dengan ancaman atau hukuman fisik. Mereka adalah individu dengan hak-hak yang sama seperti orang dewasa, dan mereka layak untuk diperlakukan dengan martabat.

Seorang guru yang baik adalah seseorang yang memahami bahwa tugas mereka bukan hanya untuk mengajarkan pengetahuan akademis, tetapi juga untuk membentuk karakter dan moral siswa. Namun, bagaimana kita bisa mengajarkan nilai-nilai moral jika kita sendiri tidak mencontohkan perilaku yang bermoral? Bagaimana kita bisa meminta siswa untuk menghormati orang lain jika kita sendiri tidak menghormati hak-hak mereka sebagai individu?

Dalam masyarakat yang ideal, hubungan antara guru dan siswa harus berlandaskan pada mutual respect, atau saling menghormati. Seorang guru tidak perlu menggunakan kekerasan fisik atau verbal untuk mendisiplinkan siswa. Sebaliknya, disiplin yang efektif harus berakar pada dialog, pengertian, dan pendekatan yang lebih manusiawi. Di banyak negara maju, model pendidikan yang berfokus pada pengembangan karakter dan empati telah terbukti berhasil mengurangi tingkat kekerasan di sekolah. Sistem seperti ini menempatkan siswa bukan sebagai objek kontrol, tetapi sebagai partner dalam proses belajar mengajar.

Membentuk Lingkungan Aman: Dimulai dari Tanggung Jawab Kolektif

Salah satu masalah terbesar dalam menangani kekerasan di sekolah adalah kecenderungan kita untuk melempar tanggung jawab kepada satu pihak saja, entah itu guru, pemerintah, atau institusi pendidikan.

Padahal, kekerasan di sekolah adalah masalah kolektif yang membutuhkan solusi kolektif pula. Orang tua, guru, kepala sekolah, dan pemerintah harus bekerja sama dalam menciptakan lingkungan sekolah yang aman bagi semua siswa.

Orang tua sering kali merasa bahwa mereka tidak punya kontrol terhadap apa yang terjadi di sekolah. Namun, sebenarnya, orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam memantau dan memastikan bahwa anak-anak mereka mendapat perlakuan yang layak di sekolah. Jika orang tua mulai lebih proaktif dalam berkomunikasi dengan guru dan sekolah, serta memberikan masukan yang konstruktif mengenai bagaimana sistem disiplin bisa diterapkan tanpa kekerasan, maka perubahan besar bisa terjadi.

Demikian pula, sekolah harus membuka diri terhadap masukan dan kritik dari orang tua dan masyarakat. Sekolah bukanlah entitas yang terpisah dari masyarakat; sekolah adalah cerminan dari nilai-nilai yang kita junjung sebagai bangsa. Oleh karena itu, transparansi dan akuntabilitas harus menjadi bagian integral dari setiap institusi pendidikan.

Mengintegrasikan Pendidikan Karakter Sejak Dini

Jika kita benar-benar ingin menghapus kekerasan di sekolah, maka kita harus mulai dari dasar: pendidikan karakter sejak dini.

Anak-anak perlu diajarkan nilai-nilai seperti empati, toleransi, dan penghargaan terhadap hak-hak orang lain, bahkan sebelum mereka belajar membaca atau menulis. Di banyak negara, pendidikan karakter sudah menjadi bagian penting dari kurikulum nasional. Misalnya, di Jepang, pendidikan karakter bukan hanya tentang mengajarkan anak-anak untuk bersikap baik, tetapi juga membantu mereka memahami dan menghormati perasaan orang lain.

Pendidikan karakter ini harus melibatkan seluruh komunitas sekolah. Guru, kepala sekolah, staf administrasi, dan bahkan penjaga sekolah harus bersama-sama membentuk budaya sekolah yang menghargai hak asasi manusia. Hal ini tidak hanya akan mengurangi kekerasan di sekolah, tetapi juga akan membantu membentuk generasi muda yang lebih peduli terhadap orang lain dan mampu membangun hubungan yang sehat di masa depan.

Pendidikan Guru: Melatih Empati dan Pengendalian Diri

Di sisi lain, sistem pendidikan guru di Indonesia juga perlu diperbarui. Saat ini, banyak program pelatihan guru yang hanya berfokus pada aspek teknis mengajar, seperti bagaimana menyampaikan materi pelajaran atau menilai hasil belajar siswa.

Namun, sangat sedikit perhatian yang diberikan pada aspek emosional dan psikologis dari menjadi seorang pendidik. Padahal, seorang guru tidak hanya harus cerdas secara intelektual, tetapi juga harus cerdas secara emosional.

Guru harus diajarkan bagaimana menangani situasi yang sulit tanpa menggunakan kekerasan, bagaimana memahami latar belakang siswa mereka, dan bagaimana membangun hubungan yang sehat dengan siswa. Pelatihan tentang pengendalian diri dan manajemen konflik harus menjadi bagian wajib dari setiap program pelatihan guru. Dengan demikian, ketika seorang guru dihadapkan pada situasi yang menantang di dalam kelas, mereka akan tahu bagaimana cara merespons dengan cara yang tepat, tanpa harus merendahkan atau menyakiti siswa.

Teknologi Sebagai Solusi?

Di era digital ini, teknologi juga dapat berperan penting dalam mengurangi kekerasan di sekolah.

Penggunaan aplikasi pelaporan kekerasan di sekolah, misalnya, telah terbukti efektif di beberapa negara dalam memantau dan mencegah insiden kekerasan. Di Indonesia, pengembangan platform serupa dapat memungkinkan siswa, orang tua, dan guru melaporkan tindakan kekerasan secara anonim dan langsung, sehingga penanganan dapat dilakukan dengan cepat dan efektif.

Teknologi juga bisa dimanfaatkan untuk melatih guru secara online, memberikan mereka akses ke sumber daya dan modul pelatihan yang berfokus pada pengelolaan kelas tanpa kekerasan. Selain itu, teknologi juga bisa digunakan untuk memfasilitasi dialog antara orang tua dan sekolah, memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses disiplin yang diterapkan.

Panggilan untuk Tindakan: Jangan Tunggu Sampai Terlambat

Mengatasi kekerasan di sekolah bukanlah tugas yang mudah, tetapi juga bukan tugas yang mustahil. Kita tidak bisa hanya berharap pada kebijakan dari pemerintah atau peraturan yang baru.

Setiap dari kita, baik sebagai orang tua, guru, siswa, maupun masyarakat, memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi anak-anak kita. Kita harus mulai dari diri kita sendiri, dengan mengajarkan nilai-nilai yang benar, menghormati hak orang lain, dan menolak segala bentuk kekerasan.

Jangan tunggu sampai anak-anak kita menjadi korban berikutnya. Jangan tunggu sampai kekerasan di sekolah menjadi berita utama lagi. Mari kita bergerak bersama, melakukan perubahan yang nyata, dan memastikan bahwa sekolah adalah tempat di mana anak-anak dapat belajar dan berkembang dengan aman, tanpa rasa takut. Masa depan mereka ada di tangan kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun