Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ritme Kehidupan Lambat: Rahasia Produktivitas dari Rutinitas Pagi yang Santai

29 September 2024   13:50 Diperbarui: 29 September 2024   14:15 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: thelist.com

Pagi hari adalah selimut waktu yang lembut. 

Ketika matahari perlahan bangkit dari tidur malamnya, ada ruang di antara gelap dan terang di mana dunia seakan berhenti sejenak. Di saat itulah, hidup menawarkan kita pilihan: berlari kencang melawan waktu, atau berjalan pelan, menyerap kehangatan embun pagi yang menyapa dedaunan di teras rumah.

Banyak dari kita, terutama yang tinggal di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, memilih opsi pertama. Kita bergegas mengejar pekerjaan, tenggelam dalam jadwal yang tak berkesudahan, dan terlupa bahwa ada ritme lain yang bisa kita ciptakan di pagi hari. Namun, bagi sebagian kecil orang, mereka memilih jalan yang berbeda---jalan yang lebih tenang, lebih lambat, namun penuh makna.

Di Bali, di Yogyakarta, bahkan di sudut-sudut tersembunyi Jakarta, ada orang-orang yang bangun pagi bukan untuk terburu-buru, tetapi untuk menyeduh secangkir teh, menyirami pot di teras, membaca halaman pertama buku favoritnya, atau hanya sekadar duduk mengamati burung-burung yang terbang rendah di langit. Mereka percaya bahwa produktivitas tidak selalu hadir dari kecepatan, tetapi dari ketenangan. Dari menanamkan kedamaian dalam setiap langkah awal hari, mereka menemukan rahasia produktivitas yang sering terabaikan di zaman modern ini.

Pagi yang Mengubah Perspektif

Beberapa waktu lalu, saya berbincang dengan Sheila Malinda, seorang pekerja lepas yang tinggal di Ubud, Bali. Di rumahnya yang dikelilingi sawah, ia memulai harinya bukan dengan menatap layar komputer, tetapi dengan berjalan kaki di sepanjang pematang sawah. 

"Saya biasa terbangun dengan tergesa-gesa, langsung memikirkan tugas-tugas yang harus saya selesaikan. Tapi, setelah saya mulai menerapkan ritme yang lebih lambat di pagi hari, produktivitas saya justru meningkat," katanya sambil tersenyum. 

Sheila menyeduh teh hijau, menulis jurnal, lalu duduk di teras, menikmati suara alam. Ia menemukan bahwa dengan memulai hari dengan tenang, pikirannya lebih jernih, dan energinya lebih terarah sepanjang hari.

Ada ketenangan yang hadir dalam aktivitas kecil dan sederhana ini. Seringkali kita lupa bahwa otak kita, seperti tubuh kita, butuh waktu untuk bangun dengan perlahan. Ketika kita mengawali hari dengan sesuatu yang menenangkan---entah itu menyeruput secangkir kopi atau berjalan kaki ringan---otak kita diberi ruang untuk beradaptasi, melepaskan sisa-sisa ketegangan tidur, dan bersiap menghadapi tantangan hari.

Perlambatan yang Berdaya

Mengapa ritme lambat di pagi hari ini begitu berdampak? 

Ternyata, ada bukti ilmiah yang mendukung ini. Sebuah studi yang dilakukan di Universitas Stanford menunjukkan bahwa aktivitas pagi yang menenangkan, seperti meditasi ringan atau berjalan-jalan, bisa mengurangi level hormon stres kortisol dan meningkatkan fokus serta kemampuan kognitif sepanjang hari (Stanford Neuroscience Institute, 2021). Dengan memulai hari tanpa terburu-buru, kita memberi kesempatan bagi otak untuk berfungsi secara optimal.

Di sisi lain, ketika kita memulai hari dengan langsung memaksakan diri bekerja atau menghadapi masalah berat, otak kita cenderung mengalami kelelahan lebih cepat. Ritme cepat ini menyebabkan peningkatan kadar kortisol yang membuat kita rentan terhadap stres, kelelahan mental, dan penurunan produktivitas.

Ini bukan hanya soal ilmu, tetapi juga tentang bagaimana kita menjalani kehidupan sehari-hari. Di banyak daerah di Indonesia, terutama di pedesaan, masyarakat secara alami menjalani ritme hidup yang lebih lambat. 

Di desa-desa di Pulau Jawa, Sumatra, atau Sulawesi, kita masih sering melihat orang-orang memulai pagi dengan kegiatan sederhana seperti menyapu halaman, menyirami tanaman, atau berbincang dengan tetangga di teras. Rutinitas pagi ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga soal membangun hubungan sosial dan keseimbangan mental.

Kembali ke Kearifan Lokal

Ritme kehidupan yang lebih lambat ini, sebenarnya, bukanlah sesuatu yang baru. Ia telah lama hidup dalam tradisi kita. Di Yogyakarta, misalnya, ada kebiasaan masyarakat untuk duduk di teras sambil minum kopi atau teh pagi. Ini adalah waktu untuk merenung, berbicara tentang rencana hari itu, atau sekadar menikmati detik-detik pagi yang tenang. 

Di banyak desa di Indonesia, kehidupan pagi adalah kehidupan yang damai. Orang-orang bangun dengan pelan, menghirup udara segar, dan membiarkan tubuh serta pikiran mereka beradaptasi secara alami.

Namun, di tengah tekanan dunia modern, kearifan lokal ini sering kali terabaikan. Kita lebih sering diajarkan bahwa produktivitas adalah tentang bekerja keras, bekerja cepat, dan mengabaikan kebutuhan tubuh untuk istirahat. Padahal, produktivitas sejati lahir dari keseimbangan---keseimbangan antara waktu bekerja dan waktu beristirahat, antara ritme cepat dan ritme lambat.

Mengadopsi ritme pagi yang lebih lambat bukan berarti kita menjadi malas atau tidak produktif. Justru sebaliknya, ritme ini memungkinkan kita untuk meresapi setiap momen, untuk mempersiapkan diri dengan lebih baik, dan pada akhirnya, untuk bekerja dengan lebih efektif.

Tantangan di Kota Besar

Namun, tidak dapat dipungkiri, mengadopsi ritme kehidupan lambat di kota-kota besar seperti Jakarta bukanlah hal yang mudah. Di tengah kemacetan, jadwal kerja yang padat, dan tekanan sosial yang kuat, tampaknya sulit bagi kita untuk mengambil waktu sejenak di pagi hari untuk bersantai. Kita terbiasa bangun dengan rasa cemas, takut terlambat, dan harus segera berlari mengejar kereta atau menembus kemacetan.

Rina Puspitasari, seorang pekerja kantoran di Jakarta, pernah merasakan hal yang sama. "Setiap pagi, saya bangun dengan rasa terburu-buru. Saya harus segera berangkat kerja, mengecek email, dan berurusan dengan klien. Tapi setelah membaca tentang pentingnya ritme lambat di pagi hari, saya memutuskan untuk mencoba. Saya bangun 30 menit lebih awal, duduk di balkon, menikmati sarapan tanpa tergesa-gesa, dan menulis di jurnal. Saya merasa lebih tenang, lebih fokus, dan hari-hari saya lebih produktif," cerita Rina (Kompas, 20/9/24).

Perubahan ini memang butuh usaha. Mungkin kita harus bangun sedikit lebih awal, atau mengurangi waktu scrolling di media sosial. Namun, jika kita bisa memulai hari dengan lebih tenang, dampaknya sangat besar pada kesehatan mental dan produktivitas kita.

Menemukan Ketenangan dalam Kehidupan Modern

Ritme kehidupan yang lambat bukanlah hal yang asing bagi kita. Di balik hiruk-pikuk modernitas, kearifan ini telah lama hadir dalam tradisi dan budaya kita. Namun, di tengah tekanan zaman, kita sering kali lupa bahwa tubuh dan pikiran kita membutuhkan waktu untuk beradaptasi, untuk beristirahat, dan untuk menemukan kedamaian.

Pagi hari adalah saat yang sempurna untuk itu. Dengan memilih untuk memulai hari dengan perlahan, dengan menikmati setiap momen kecil---menyeduh teh, menyirami tanaman, atau hanya duduk menikmati langit pagi---kita bisa menemukan ketenangan di tengah kehidupan yang sibuk. Dan dari ketenangan inilah, produktivitas sejati lahir.

Mungkin, di tengah kesibukan dan kecepatan zaman, ada baiknya kita kembali bertanya: Apakah kecepatan benar-benar membuat kita lebih produktif? Atau justru dengan memperlambat langkah, kita bisa lebih fokus, lebih tenang, dan lebih bahagia?

Pada akhirnya, ritme kehidupan lambat adalah tentang menemukan keseimbangan. Keseimbangan antara bekerja keras dan merawat diri, antara menjalani hari dengan produktif dan hidup dengan bermakna. Dalam dunia yang terus bergerak cepat, mungkin rahasia produktivitas yang kita cari justru terletak pada pagi yang tenang, pada setiap langkah yang kita ambil dengan perlahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun