Di sisi lain, ketika kita memulai hari dengan langsung memaksakan diri bekerja atau menghadapi masalah berat, otak kita cenderung mengalami kelelahan lebih cepat. Ritme cepat ini menyebabkan peningkatan kadar kortisol yang membuat kita rentan terhadap stres, kelelahan mental, dan penurunan produktivitas.
Ini bukan hanya soal ilmu, tetapi juga tentang bagaimana kita menjalani kehidupan sehari-hari. Di banyak daerah di Indonesia, terutama di pedesaan, masyarakat secara alami menjalani ritme hidup yang lebih lambat.Â
Di desa-desa di Pulau Jawa, Sumatra, atau Sulawesi, kita masih sering melihat orang-orang memulai pagi dengan kegiatan sederhana seperti menyapu halaman, menyirami tanaman, atau berbincang dengan tetangga di teras. Rutinitas pagi ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga soal membangun hubungan sosial dan keseimbangan mental.
Kembali ke Kearifan Lokal
Ritme kehidupan yang lebih lambat ini, sebenarnya, bukanlah sesuatu yang baru. Ia telah lama hidup dalam tradisi kita. Di Yogyakarta, misalnya, ada kebiasaan masyarakat untuk duduk di teras sambil minum kopi atau teh pagi. Ini adalah waktu untuk merenung, berbicara tentang rencana hari itu, atau sekadar menikmati detik-detik pagi yang tenang.Â
Di banyak desa di Indonesia, kehidupan pagi adalah kehidupan yang damai. Orang-orang bangun dengan pelan, menghirup udara segar, dan membiarkan tubuh serta pikiran mereka beradaptasi secara alami.
Namun, di tengah tekanan dunia modern, kearifan lokal ini sering kali terabaikan. Kita lebih sering diajarkan bahwa produktivitas adalah tentang bekerja keras, bekerja cepat, dan mengabaikan kebutuhan tubuh untuk istirahat. Padahal, produktivitas sejati lahir dari keseimbangan---keseimbangan antara waktu bekerja dan waktu beristirahat, antara ritme cepat dan ritme lambat.
Mengadopsi ritme pagi yang lebih lambat bukan berarti kita menjadi malas atau tidak produktif. Justru sebaliknya, ritme ini memungkinkan kita untuk meresapi setiap momen, untuk mempersiapkan diri dengan lebih baik, dan pada akhirnya, untuk bekerja dengan lebih efektif.
Tantangan di Kota Besar
Namun, tidak dapat dipungkiri, mengadopsi ritme kehidupan lambat di kota-kota besar seperti Jakarta bukanlah hal yang mudah. Di tengah kemacetan, jadwal kerja yang padat, dan tekanan sosial yang kuat, tampaknya sulit bagi kita untuk mengambil waktu sejenak di pagi hari untuk bersantai. Kita terbiasa bangun dengan rasa cemas, takut terlambat, dan harus segera berlari mengejar kereta atau menembus kemacetan.
Rina Puspitasari, seorang pekerja kantoran di Jakarta, pernah merasakan hal yang sama. "Setiap pagi, saya bangun dengan rasa terburu-buru. Saya harus segera berangkat kerja, mengecek email, dan berurusan dengan klien. Tapi setelah membaca tentang pentingnya ritme lambat di pagi hari, saya memutuskan untuk mencoba. Saya bangun 30 menit lebih awal, duduk di balkon, menikmati sarapan tanpa tergesa-gesa, dan menulis di jurnal. Saya merasa lebih tenang, lebih fokus, dan hari-hari saya lebih produktif," cerita Rina (Kompas, 20/9/24).
Perubahan ini memang butuh usaha. Mungkin kita harus bangun sedikit lebih awal, atau mengurangi waktu scrolling di media sosial. Namun, jika kita bisa memulai hari dengan lebih tenang, dampaknya sangat besar pada kesehatan mental dan produktivitas kita.
Menemukan Ketenangan dalam Kehidupan Modern
Ritme kehidupan yang lambat bukanlah hal yang asing bagi kita. Di balik hiruk-pikuk modernitas, kearifan ini telah lama hadir dalam tradisi dan budaya kita. Namun, di tengah tekanan zaman, kita sering kali lupa bahwa tubuh dan pikiran kita membutuhkan waktu untuk beradaptasi, untuk beristirahat, dan untuk menemukan kedamaian.