Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Membedah Pilkada: Sebuah Pencarian Makna di Tengah Hiruk-Pikuk Demokrasi

27 September 2024   23:52 Diperbarui: 30 September 2024   14:31 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pgurus.com

Ada satu hal yang selalu mengganggu benak saya setiap kali musim pilkada tiba: mengapa kita memilih?

Pertanyaan ini, sederhana pada permukaannya, perlahan menjadi semakin dalam ketika kita menelusuri lebih jauh. Apa yang sebenarnya kita pilih? Seorang pemimpin? Ide? Janji? Atau, mungkin, kita hanya memilih harapan? Di tengah teriakan yel-yel kampanye, spanduk yang bertebaran, dan janji-janji yang ditaburkan, saya merasa seolah-olah ada makna yang hilang di antara semua kegaduhan ini.

Pilkada, bagi banyak orang, hanyalah momen lima tahunan untuk menyuarakan pilihan mereka. Namun, bagi saya, pilkada adalah panggung besar bagi kita semua, bukan hanya calon pemimpin, tetapi juga para pemilih. Di sinilah kita berdiri, menimbang-nimbang siapa yang layak, dengan segala keterbatasan dan prasangka yang kita miliki. Dan di sinilah letak dilema epistemologi---bagaimana kita tahu bahwa pilihan kita benar?

Epistemologi Pilkada: Bagaimana Kita Mengetahui Kebenaran?

Dalam setiap pilkada, kita dihadapkan pada lautan informasi yang tiada habisnya. Ada data yang disajikan dalam bentuk survei, laporan media, dan debat publik. Tapi di antara semua itu, saya sering merasa tersesat. Apakah informasi yang kita terima benar-benar mencerminkan kenyataan? Atau, seperti yang sering kita temui, apa yang tampak di permukaan hanyalah permainan citra dan retorika?

Ketika saya mengingat filosofi Immanuel Kant, yang menyatakan bahwa pengetahuan kita terbentuk dari pengalaman indera dan konsep-konsep rasional, saya merenung. Dalam dunia modern ini, di mana media sosial berperan sebagai jembatan utama informasi, apakah kita bisa mengatakan bahwa pengetahuan kita tentang calon pemimpin sungguh rasional? Di sini, kita mulai memahami peran epistemologi dalam pilkada---bagaimana kita bisa memisahkan kebenaran dari ilusi?

Saya tidak bisa tidak teringat sebuah penelitian oleh Reuters Institute yang mengungkapkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat penyebaran hoax tertinggi di Asia Tenggara. Hoax politik yang disebarkan melalui media sosial seringkali membentuk opini publik lebih dari fakta sebenarnya. Di sinilah epistemologi menjadi krusial: jika kita tidak memiliki fondasi pengetahuan yang kuat, bagaimana mungkin kita dapat membuat pilihan yang benar?

Sebagai pemilih, kita harus mulai menyadari bahwa tidak semua yang kita lihat atau dengar itu benar. Kita harus mengasah kemampuan kritis, mempertanyakan sumber informasi, dan tidak begitu saja terjebak dalam narasi yang dibangun oleh media atau para calon. Dalam dunia yang semakin dipenuhi dengan disinformasi, kebenaran menjadi sesuatu yang perlu dicari dengan kesadaran penuh, bukan sekadar diterima mentah-mentah.

Ontologi Pilkada: Siapakah Pemimpin yang Kita Pilih?

Setelah kita memahami bagaimana pengetahuan terbentuk, pertanyaan berikutnya muncul: Apa sebenarnya yang kita pilih? Siapa pemimpin yang kita inginkan? Di sinilah ontologi, studi tentang hakikat keberadaan, memainkan peran penting. Dalam setiap pilkada, kita dihadapkan pada berbagai pilihan calon dengan karakter, latar belakang, dan visi yang berbeda. Tapi apa yang membuat seorang calon menjadi pemimpin yang layak?

Bagi sebagian orang, pemimpin adalah seseorang yang mampu membawa perubahan ekonomi. Bagi yang lain, pemimpin adalah sosok yang kharismatik dan penuh daya tarik. Tetapi apakah karakteristik tersebut cukup untuk mendefinisikan hakikat seorang pemimpin?

Plato, dalam karyanya Republic, menggambarkan pemimpin yang ideal sebagai seorang filsuf-raja, seseorang yang memiliki kebijaksanaan, keadilan, dan kebaikan hati. Namun, dalam praktiknya, kita seringkali terjebak dalam memilih pemimpin berdasarkan penampilan dan janji-janji kosong. Kita cenderung melupakan esensi sebenarnya dari kepemimpinan, yang bukan hanya tentang apa yang tampak di permukaan, melainkan apa yang ada di dalam hati dan pikiran mereka.

Seorang pemimpin sejati tidak hanya memikirkan kepentingan sesaat, tetapi juga masa depan rakyatnya. Mereka harus mampu memahami kebutuhan mendasar masyarakat dan mengambil keputusan yang adil dan bijaksana, bahkan ketika hal itu mungkin tidak populer. Saya selalu berpikir, jika kita memilih pemimpin berdasarkan prinsip-prinsip ini, alih-alih retorika politik belaka, maka pilkada akan menghasilkan lebih dari sekadar perubahan wajah di kantor pemerintahan.

Aksiologi Pilkada: Nilai Apa yang Kita Cari?

Setelah kita memahami siapa yang kita pilih, pertanyaan berikutnya adalah: Mengapa kita memilih? Apa nilai-nilai yang kita bawa saat memberikan suara kita di bilik pemilihan?

Dalam filsafat, aksiologi adalah studi tentang nilai-nilai. Di sinilah kita ditantang untuk merenungkan, apa yang sebenarnya kita anggap penting dalam seorang pemimpin? Apakah kita memilih karena mereka menjanjikan pembangunan infrastruktur? Atau karena mereka berbicara tentang keadilan sosial? Atau, lebih dalam lagi, apakah kita memilih berdasarkan integritas mereka?

Amartya Sen, seorang filsuf dan ekonom, memperkenalkan konsep capability approach, yang menyatakan bahwa kesejahteraan tidak hanya diukur melalui angka-angka ekonomi, tetapi melalui kemampuan individu untuk menjalani kehidupan yang mereka nilai berharga. Dalam konteks pilkada, saya percaya bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga pada bagaimana mereka dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat, membebaskan mereka dari ketidakadilan, dan memberikan mereka kesempatan untuk berkembang.

Saya teringat sebuah kisah di sebuah daerah terpencil di Indonesia, di mana seorang calon pemimpin lokal terpilih bukan karena janji-janji politiknya, tetapi karena kesederhanaan hidup dan kepeduliannya yang nyata terhadap rakyat. Nilai yang dia bawa bukan sekadar pembangunan fisik, tetapi pembangunan manusia. Inilah inti dari aksiologi dalam pilkada---bahwa dalam memilih pemimpin, kita harus mempertimbangkan nilai-nilai yang lebih dalam, yang mencerminkan kemanusiaan dan kebaikan.

Kesimpulan: Pilkada Sebagai Pencarian Makna

Pada akhirnya, pilkada bukan sekadar momen politik lima tahunan. Ini adalah cerminan dari siapa kita sebagai masyarakat, bagaimana kita memahami kebenaran, apa yang kita anggap penting, dan siapa yang kita percayakan untuk memimpin kita. Epistemologi, ontologi, dan aksiologi memberikan kita kerangka untuk melihat pilkada dengan cara yang lebih dalam, lebih bermakna.

Sebagai pemilih, kita harus lebih dari sekadar peserta yang pasif. Kita harus aktif mencari kebenaran, memahami hakikat kepemimpinan, dan memilih berdasarkan nilai-nilai yang lebih tinggi daripada sekadar janji-janji material. Hanya dengan begitu, pilkada akan menjadi lebih dari sekadar ritual demokrasi, tetapi sebuah pencarian makna---bagi kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun