Seorang pemimpin sejati tidak hanya memikirkan kepentingan sesaat, tetapi juga masa depan rakyatnya. Mereka harus mampu memahami kebutuhan mendasar masyarakat dan mengambil keputusan yang adil dan bijaksana, bahkan ketika hal itu mungkin tidak populer. Saya selalu berpikir, jika kita memilih pemimpin berdasarkan prinsip-prinsip ini, alih-alih retorika politik belaka, maka pilkada akan menghasilkan lebih dari sekadar perubahan wajah di kantor pemerintahan.
Aksiologi Pilkada: Nilai Apa yang Kita Cari?
Setelah kita memahami siapa yang kita pilih, pertanyaan berikutnya adalah: Mengapa kita memilih? Apa nilai-nilai yang kita bawa saat memberikan suara kita di bilik pemilihan?
Dalam filsafat, aksiologi adalah studi tentang nilai-nilai. Di sinilah kita ditantang untuk merenungkan, apa yang sebenarnya kita anggap penting dalam seorang pemimpin? Apakah kita memilih karena mereka menjanjikan pembangunan infrastruktur? Atau karena mereka berbicara tentang keadilan sosial? Atau, lebih dalam lagi, apakah kita memilih berdasarkan integritas mereka?
Amartya Sen, seorang filsuf dan ekonom, memperkenalkan konsep capability approach, yang menyatakan bahwa kesejahteraan tidak hanya diukur melalui angka-angka ekonomi, tetapi melalui kemampuan individu untuk menjalani kehidupan yang mereka nilai berharga. Dalam konteks pilkada, saya percaya bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga pada bagaimana mereka dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat, membebaskan mereka dari ketidakadilan, dan memberikan mereka kesempatan untuk berkembang.
Saya teringat sebuah kisah di sebuah daerah terpencil di Indonesia, di mana seorang calon pemimpin lokal terpilih bukan karena janji-janji politiknya, tetapi karena kesederhanaan hidup dan kepeduliannya yang nyata terhadap rakyat. Nilai yang dia bawa bukan sekadar pembangunan fisik, tetapi pembangunan manusia. Inilah inti dari aksiologi dalam pilkada---bahwa dalam memilih pemimpin, kita harus mempertimbangkan nilai-nilai yang lebih dalam, yang mencerminkan kemanusiaan dan kebaikan.
Kesimpulan: Pilkada Sebagai Pencarian Makna
Pada akhirnya, pilkada bukan sekadar momen politik lima tahunan. Ini adalah cerminan dari siapa kita sebagai masyarakat, bagaimana kita memahami kebenaran, apa yang kita anggap penting, dan siapa yang kita percayakan untuk memimpin kita. Epistemologi, ontologi, dan aksiologi memberikan kita kerangka untuk melihat pilkada dengan cara yang lebih dalam, lebih bermakna.
Sebagai pemilih, kita harus lebih dari sekadar peserta yang pasif. Kita harus aktif mencari kebenaran, memahami hakikat kepemimpinan, dan memilih berdasarkan nilai-nilai yang lebih tinggi daripada sekadar janji-janji material. Hanya dengan begitu, pilkada akan menjadi lebih dari sekadar ritual demokrasi, tetapi sebuah pencarian makna---bagi kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H