Saat kita mendengar kata "literasi," mungkin yang pertama kali terlintas di pikiran adalah buku tebal, bacaan yang memakan waktu, dan sesuatu yang sulit dijangkau di tengah kesibukan kita sehari-hari. Tapi apakah benar demikian?
Holiday menjawab pertanyaan ini dengan sederhana: you don't find the time, you make the time. Di tengah kesibukan kita menonton Netflix, bermain media sosial, atau nongkrong di kafe, seharusnya kita bisa meluangkan waktu untuk membaca buku---sekalipun hanya 15-20 menit sehari. Karena pada akhirnya, waktu bukanlah hal yang ditemukan, melainkan dibuat.
Namun, di Indonesia, budaya membaca belum menjadi prioritas. Sebuah survei dari Perpustakaan Nasional Indonesia pada tahun 2022 mengungkapkan bahwa rata-rata orang Indonesia hanya membaca 3-4 buku per tahun. Ini jelas sangat jauh di bawah rata-rata negara maju yang bisa mencapai 15-20 buku per tahun.
Alasan terbesar yang sering muncul adalah keterbatasan akses. Tapi apakah itu benar-benar alasan utamanya? Di era digital seperti sekarang, buku-buku elektronik bisa dengan mudah diunduh, perpustakaan online menyediakan akses gratis, dan forum-forum diskusi literasi tersedia di mana-mana. Tantangan sebenarnya bukan lagi soal akses, tetapi soal keinginan dan kebiasaan.
Ketika kita menomorduakan literasi, kita kehilangan kesempatan untuk berpikir lebih luas, memahami sudut pandang yang berbeda, dan menambah pengetahuan. Dan lebih dari itu, kita juga menyerahkan kendali kita pada kebodohan.
Kisah Nyata: Literasi yang Mengubah Hidup
Mari kita lihat sebuah contoh nyata dari sebuah komunitas di Yogyakarta yang bernama Kelas Literasi Bumi. Didirikan oleh sekelompok mahasiswa, komunitas ini berupaya menghidupkan kembali budaya membaca di kalangan anak-anak di desa. Salah satu penggeraknya, Annisa Rahma, bercerita bagaimana awalnya sulit membuat anak-anak meninggalkan gadget mereka untuk membaca buku. Namun, setelah program ini berjalan selama satu tahun, mereka melihat perubahan signifikan.
Anak-anak yang sebelumnya kecanduan layar kini mulai menikmati waktu membaca. Bukan hanya sekadar membaca, mereka juga mulai menulis cerita mereka sendiri. Mereka mulai bertanya lebih banyak, berpikir lebih kritis, dan yang terpenting, prestasi akademik mereka meningkat. "Membaca bukan hanya soal menambah pengetahuan," kata Annisa. "Ini soal membuka pikiran, dan melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda."
Perubahan ini juga mempengaruhi orang tua mereka. Dalam banyak kasus, para orang tua yang awalnya tidak tertarik membaca, mulai ikut terlibat. "Mereka melihat anak-anak mereka berubah, dan mereka ingin tahu apa yang membuat perbedaan itu," tambah Annisa. Kelas Literasi Bumi telah menjadi contoh bagaimana literasi bisa mengubah hidup, bukan hanya bagi anak-anak, tapi juga bagi komunitas secara keseluruhan.
Literasi sebagai Kekuatan
Sebagai bangsa yang ingin maju dan bersaing di kancah global, Indonesia tidak bisa lagi memandang remeh pentingnya literasi. Literasi adalah kekuatan. Tanpa kemampuan literasi yang kuat, kita akan terus tertinggal, terjebak dalam lingkaran kebodohan yang membatasi potensi kita.
Socrates pernah berkata bahwa hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dijalani. Membaca, belajar dari pengalaman dan pengetahuan orang lain melalui buku, adalah bagian dari refleksi itu. Ketika kita berhenti membaca, kita berhenti belajar, dan di situlah kebodohan mulai mengambil alih. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi suatu bangsa selain generasi yang tumbuh tanpa kemampuan literasi yang kuat.
Laporan dari OECD PISA 2018 menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal dalam hal kemampuan literasi siswa, menduduki peringkat 72 dari 77 negara. Ini adalah tanda bahwa sistem pendidikan kita, meskipun terus mengalami pembaruan, masih perlu berfokus lebih pada menanamkan budaya membaca dan berpikir kritis di kalangan generasi muda.