Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Literasi Itu Penting, Sebab Kebodohan Rajin Memakan Korban

26 September 2024   20:19 Diperbarui: 26 September 2024   20:25 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: educacaointegral.org.br

Mari bayangkan: Seorang ayah pulang ke rumahnya di sebuah desa kecil di pelosok Indonesia, matanya lelah setelah seharian bekerja keras di ladang.

Saat ia melepas sepatu botnya, anaknya yang masih bersekolah di sekolah dasar menghampirinya dengan sebuah pertanyaan: "Ayah, kenapa matahari terbenam?" Ayah itu hanya tersenyum, tapi tidak tahu jawaban pastinya. Bukan karena dia tidak peduli, tetapi karena dia tak pernah punya kesempatan untuk membaca dan belajar.

Ironisnya, di negara dengan sejarah panjang penulisan dan aksara seperti Indonesia, jutaan orang seperti ayah anak tersebut itu masih hidup dalam kebodohan yang tidak terucapkan. Mereka hidup di tengah era digital yang dipenuhi informasi, namun tidak tahu bagaimana cara memilah atau menggunakannya dengan bijak. 

Ini bukan hanya masalah kekurangan akses, tetapi juga minimnya budaya membaca yang telah tertanam selama bertahun-tahun. Kita hidup di zaman di mana informasi lebih mudah didapat daripada sebelumnya, tetapi sayangnya, begitu banyak dari kita memilih untuk tidak mengambil keuntungan dari itu.

Ryan Holiday, penulis dan pemikir kontemporer, pernah berkata bahwa apapun masalah yang kita hadapi, hampir pasti sudah dibahas dalam buku yang ditulis oleh orang yang lebih bijaksana. Namun, kita sering mengabaikan solusi yang sudah tersedia, dan lebih memilih untuk bertahan dalam kebodohan. Dan inilah kenyataan pahit yang dihadapi oleh bangsa kita hari ini---kebodohan, tanpa disadari, terus memakan korban.

Kebodohan dalam Era Banjir Informasi

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, tetapi ironisnya, kita mengalami kemiskinan dalam hal sumber daya intelektual. Menurut data UNESCO, tingkat minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. 

Artinya, dari 1.000 orang, hanya satu yang secara aktif membaca buku. Angka ini tentu saja mengkhawatirkan, terutama jika kita bandingkan dengan negara-negara maju di mana budaya membaca menjadi pilar utama dalam membangun generasi yang berpikir kritis dan produktif.

Ketika kita berbicara tentang kebodohan, ini bukan hanya tentang tidak bisa membaca atau menulis. Kebodohan di sini merujuk pada ketidakmampuan untuk berpikir secara mendalam, menganalisis informasi, dan membuat keputusan yang rasional. Ini adalah kebodohan yang tumbuh subur di tengah masyarakat yang lebih suka menghabiskan waktu di depan layar ponsel, terpaku pada hiburan instan, daripada memanfaatkan waktu untuk membaca dan belajar.

Contoh nyata dari dampak kebodohan ini adalah maraknya hoaks di media sosial. Menurut laporan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, pada tahun 2022 saja, lebih dari 1.000 hoaks menyebar di Indonesia, dan mayoritas di antaranya dipercaya oleh masyarakat yang tidak memiliki kemampuan literasi digital yang memadai. Akibatnya, banyak orang yang mengambil keputusan yang salah, dari hal-hal kecil seperti membeli produk palsu hingga hal yang lebih serius seperti mempercayai klaim medis yang tidak berdasar.

Di sini, literasi tidak lagi menjadi sekadar kebutuhan tambahan. Literasi adalah pelindung. Tanpa literasi, kita rentan terhadap manipulasi informasi yang merugikan. Kita menjadi korban kebodohan kita sendiri.

Membaca Bukanlah Pilihan, Tapi Keperluan

Saat kita mendengar kata "literasi," mungkin yang pertama kali terlintas di pikiran adalah buku tebal, bacaan yang memakan waktu, dan sesuatu yang sulit dijangkau di tengah kesibukan kita sehari-hari. Tapi apakah benar demikian?

Holiday menjawab pertanyaan ini dengan sederhana: you don't find the time, you make the time. Di tengah kesibukan kita menonton Netflix, bermain media sosial, atau nongkrong di kafe, seharusnya kita bisa meluangkan waktu untuk membaca buku---sekalipun hanya 15-20 menit sehari. Karena pada akhirnya, waktu bukanlah hal yang ditemukan, melainkan dibuat.

Namun, di Indonesia, budaya membaca belum menjadi prioritas. Sebuah survei dari Perpustakaan Nasional Indonesia pada tahun 2022 mengungkapkan bahwa rata-rata orang Indonesia hanya membaca 3-4 buku per tahun. Ini jelas sangat jauh di bawah rata-rata negara maju yang bisa mencapai 15-20 buku per tahun.

Alasan terbesar yang sering muncul adalah keterbatasan akses. Tapi apakah itu benar-benar alasan utamanya? Di era digital seperti sekarang, buku-buku elektronik bisa dengan mudah diunduh, perpustakaan online menyediakan akses gratis, dan forum-forum diskusi literasi tersedia di mana-mana. Tantangan sebenarnya bukan lagi soal akses, tetapi soal keinginan dan kebiasaan.

Ketika kita menomorduakan literasi, kita kehilangan kesempatan untuk berpikir lebih luas, memahami sudut pandang yang berbeda, dan menambah pengetahuan. Dan lebih dari itu, kita juga menyerahkan kendali kita pada kebodohan.

Kisah Nyata: Literasi yang Mengubah Hidup

Mari kita lihat sebuah contoh nyata dari sebuah komunitas di Yogyakarta yang bernama Kelas Literasi Bumi. Didirikan oleh sekelompok mahasiswa, komunitas ini berupaya menghidupkan kembali budaya membaca di kalangan anak-anak di desa. Salah satu penggeraknya, Annisa Rahma, bercerita bagaimana awalnya sulit membuat anak-anak meninggalkan gadget mereka untuk membaca buku. Namun, setelah program ini berjalan selama satu tahun, mereka melihat perubahan signifikan.

Anak-anak yang sebelumnya kecanduan layar kini mulai menikmati waktu membaca. Bukan hanya sekadar membaca, mereka juga mulai menulis cerita mereka sendiri. Mereka mulai bertanya lebih banyak, berpikir lebih kritis, dan yang terpenting, prestasi akademik mereka meningkat. "Membaca bukan hanya soal menambah pengetahuan," kata Annisa. "Ini soal membuka pikiran, dan melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda."

Perubahan ini juga mempengaruhi orang tua mereka. Dalam banyak kasus, para orang tua yang awalnya tidak tertarik membaca, mulai ikut terlibat. "Mereka melihat anak-anak mereka berubah, dan mereka ingin tahu apa yang membuat perbedaan itu," tambah Annisa. Kelas Literasi Bumi telah menjadi contoh bagaimana literasi bisa mengubah hidup, bukan hanya bagi anak-anak, tapi juga bagi komunitas secara keseluruhan.

Literasi sebagai Kekuatan

Sebagai bangsa yang ingin maju dan bersaing di kancah global, Indonesia tidak bisa lagi memandang remeh pentingnya literasi. Literasi adalah kekuatan. Tanpa kemampuan literasi yang kuat, kita akan terus tertinggal, terjebak dalam lingkaran kebodohan yang membatasi potensi kita.

Socrates pernah berkata bahwa hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dijalani. Membaca, belajar dari pengalaman dan pengetahuan orang lain melalui buku, adalah bagian dari refleksi itu. Ketika kita berhenti membaca, kita berhenti belajar, dan di situlah kebodohan mulai mengambil alih. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi suatu bangsa selain generasi yang tumbuh tanpa kemampuan literasi yang kuat.

Laporan dari OECD PISA 2018 menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal dalam hal kemampuan literasi siswa, menduduki peringkat 72 dari 77 negara. Ini adalah tanda bahwa sistem pendidikan kita, meskipun terus mengalami pembaruan, masih perlu berfokus lebih pada menanamkan budaya membaca dan berpikir kritis di kalangan generasi muda.

Kesimpulan

Pada akhirnya, literasi bukanlah sekadar kemampuan membaca dan menulis. Literasi adalah tentang cara kita memahami dunia, membuat keputusan yang bijak, dan melindungi diri kita dari kebodohan yang terus mengintai. Di era banjir informasi ini, di mana kebenaran sering kali tersembunyi di balik lautan data palsu dan hoaks, literasi adalah satu-satunya jalan keluar.

Seperti pepatah lama yang selalu relevan, "Pengetahuan adalah kekuatan." Dan kekuatan itu hanya bisa diraih melalui literasi. Membaca buku bukan hanya sekadar untuk menambah pengetahuan, tapi untuk bertahan hidup di dunia yang semakin kompleks dan penuh tantangan. Literasi itu penting, sebab kebodohan rajin memakan korban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun