Pada 27 November 2024 mendatang, Pilkada Serentak akan kembali diselenggarakan di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota di Indonesia.
Sebanyak 1.553 pasangan calon kepala daerah akan berlaga, dengan 37 pasangan calon (paslon) tunggal yang akan menghadapi "kotak kosong"---fenomena yang semakin memperlihatkan pengaruh kekuasaan terhadap dinamika politik lokal.
Dalam suasana demokrasi ini, kita dihadapkan pada tantangan besar: populisme yang terus berkembang dan semakin diperkuat oleh buzzer politik, yang bekerja di balik radar namun memiliki pengaruh signifikan dalam menggiring opini publik.
Populisme di Tengah Pilkada: Narasi 'Pemimpin Rakyat'
Populisme menjadi narasi dominan yang kerap digunakan oleh calon kepala daerah untuk memposisikan diri sebagai 'pemimpin rakyat sejati'.
Pemimpin populis biasanya tampil sebagai sosok karismatik yang menggambarkan dirinya sebagai perwakilan langsung dari rakyat kecil, siap berjuang melawan elit yang dianggap korup dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Di Pilkada 2024 ini, kita tidak akan luput dari narasi-narasi yang memancing emosi dan harapan, terutama di daerah-daerah yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi atau merasa termarjinalkan oleh kebijakan pusat.
Namun, Paul D. Kenny menjelaskan ada dua pendekatan berbeda terhadap populisme: sebagai ideologi yang melekat pada gerakan politik dan sebagai alat atau senjata politik.
Populisme sebagai ideologi mengusung konsep 'kami' melawan 'mereka'---di mana rakyat berjuang melawan segelintir elit. Di sisi lain, populisme sebagai senjata adalah cara para politisi memanfaatkan ketidakpuasan masyarakat untuk meraih kekuasaan, tanpa benar-benar menawarkan solusi konkret.
Dalam Pilkada 2024, populisme sebagai senjata politik terlihat jelas, terutama di daerah-daerah yang rentan. Narasi populis dimanfaatkan untuk menarik simpati dengan memainkan isu-isu lokal yang sensitif, seperti ketimpangan ekonomi, konflik agraria, atau ketidakadilan pelayanan publik.
Tetapi yang membuat narasi populis ini semakin kuat adalah peran buzzer yang memperkuat narasi tersebut di berbagai platform media sosial, termasuk TikTok.
Buzzer: Senjata di Era Digital
Buzzer memainkan peran krusial dalam Pilkada, terutama dalam membentuk narasi dan opini publik secara digital. Meskipun kampanye resmi baru dimulai pada 25 September hingga 23 November 2024, peran buzzer sudah terasa sejak lama.
Mereka bekerja tidak hanya di platform utama seperti Twitter, Facebook, dan Instagram, tetapi juga di platform berbasis video pendek seperti TikTok.
Dengan lebih dari 109,9 juta pengguna TikTok di Indonesia pada 2023, platform ini menjadi lahan subur untuk menyebarkan video-video politik yang dikemas dengan cerdik dan memikat, sering kali menggunakan humor atau tren musik.
Mengapa buzzer begitu efektif di TikTok? Karena konten video yang pendek dan menarik sangat mudah viral, dan algoritma TikTok mendorong penyebaran konten sesuai dengan minat pengguna.
Buzzer memanfaatkan tren ini untuk menyusup ke dalam feed harian pengguna dengan pesan-pesan politik yang kadang tidak disadari sebagai propaganda.Â
Menurut riset LIPI, konten politik di TikTok sering kali disamarkan dalam bentuk hiburan, tetapi menyebarkan narasi yang sudah diarahkan untuk mempengaruhi opini pemilih.
Studi Kasus: Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Peran Buzzer
Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi salah satu contoh paling gamblang tentang bagaimana buzzer dapat mempengaruhi jalannya demokrasi. Narasi populis dimainkan dengan sangat intens, terutama melalui isu-isu identitas dan agama.
Pada saat itu, tim kampanye kandidat menggunakan buzzer untuk menyebarkan informasi palsu, memprovokasi ketegangan antar kelompok, dan membentuk persepsi negatif terhadap lawan politik.
Kampanye hitam yang dilakukan buzzer ini merusak debat publik yang sehat, menciptakan polarisasi yang tajam di masyarakat, dan memicu ketegangan yang terus terasa hingga sekarang.
Laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa penggunaan buzzer pada Pilkada 2017 tidak hanya mempengaruhi hasil pemilihan, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi.
Meskipun akun-akun buzzer tidak selalu jelas teridentifikasi, dampaknya terlihat nyata dalam polarisasi opini di media sosial.
Platform-platform seperti Twitter dan Facebook menjadi medan utama di mana buzzer menyebarkan propaganda, menyerang lawan politik, dan memanipulasi informasi untuk keuntungan kandidat tertentu.
Buzzer dan TikTok: Tantangan Baru Demokrasi
Tahun 2024, TikTok semakin kuat sebagai salah satu alat kampanye politik. Datareportal mencatat lonjakan signifikan pengguna TikTok di Indonesia, menjadikan platform ini sangat strategis bagi tim kampanye untuk menyebarkan narasi populis.
Dengan algoritma yang mendukung viralitas konten, buzzer menggunakan TikTok untuk menciptakan tren dan mengarahkan opini masyarakat tanpa mereka sadari.
Fenomena ini semakin memperlihatkan bahwa buzzer bukan hanya aktor yang bekerja di balik layar, tetapi bagian integral dari strategi politik yang lebih besar.
Sebuah laporan dari Pusat Studi Media dan Demokrasi (PUSDEM) menunjukkan bahwa lebih dari 65% iklan politik di YouTube pada tahun 2020 dipromosikan oleh akun anonim yang terkait dengan buzzer.
Pola ini menunjukkan upaya sistematis untuk mengendalikan narasi publik, menciptakan ilusi bahwa opini yang berkembang di media sosial adalah suara rakyat, padahal kenyataannya, itu adalah hasil dari rekayasa buzzer.
Efek Buzzer pada Demokrasi dan Kebebasan Berpendapat
Dampak jangka panjang dari buzzer tidak hanya terbatas pada manipulasi opini publik, tetapi juga pada kebebasan berpendapat di negara demokrasi.Â
Freedom House mencatat penurunan signifikan dalam kebebasan berpendapat di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Serangan siber terhadap jurnalis, aktivis, dan tokoh oposisi semakin meningkat, sering kali dipicu oleh kampanye negatif yang disebarkan oleh buzzer.
Sementara itu, Lembaga Survei Indonesia (LSI) melaporkan bahwa sekitar 60% masyarakat Indonesia merasa takut untuk menyuarakan pendapat politik mereka di media sosial karena khawatir diserang oleh buzzer.
Ini menunjukkan bahwa buzzer tidak hanya merusak debat publik, tetapi juga menciptakan atmosfer ketakutan yang membungkam kritik terhadap pemerintah atau kandidat yang didukung mereka.
Pilkada 2024: Ujian Demokrasi di Era Buzzer dan Populisme
Pilkada Serentak 2024 adalah ujian bagi demokrasi Indonesia. Di satu sisi, kita melihat narasi populisme yang kerap dimainkan oleh para kandidat untuk meraih simpati rakyat.
Di sisi lain, kita menyaksikan bagaimana buzzer bekerja di balik layar, mengendalikan opini publik, dan membentuk narasi sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu.
Dengan 1.553 pasangan calon kepala daerah dan 37 paslon tunggal yang akan menghadapi kotak kosong, Pilkada ini menjadi lebih dari sekadar kontes politik lokal.
Ini adalah momen krusial di mana masa depan demokrasi kita dipertaruhkan. Jika masyarakat tidak waspada terhadap peran buzzer dan narasi populis yang menyesatkan, kita berisiko kehilangan esensi dari demokrasi itu sendiri: kebebasan berpendapat, debat yang jujur, dan partisipasi yang otentik.
Untuk menjaga demokrasi yang sehat, penting bagi kita semua untuk tidak terjebak dalam jebakan buzzer dan narasi populis. Kita harus tetap kritis, memverifikasi informasi, dan mempertanyakan narasi yang viral di media sosial.
Pilkada 2024 bukan hanya tentang memilih pemimpin daerah, tetapi juga tentang mempertahankan integritas demokrasi Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H