Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Pilkada 2024: Ancaman Populisme dan Buzzer dalam Demokrasi Kita

25 September 2024   00:46 Diperbarui: 28 September 2024   14:58 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun akun-akun buzzer tidak selalu jelas teridentifikasi, dampaknya terlihat nyata dalam polarisasi opini di media sosial.

Platform-platform seperti Twitter dan Facebook menjadi medan utama di mana buzzer menyebarkan propaganda, menyerang lawan politik, dan memanipulasi informasi untuk keuntungan kandidat tertentu.

Buzzer dan TikTok: Tantangan Baru Demokrasi

Tahun 2024, TikTok semakin kuat sebagai salah satu alat kampanye politik. Datareportal mencatat lonjakan signifikan pengguna TikTok di Indonesia, menjadikan platform ini sangat strategis bagi tim kampanye untuk menyebarkan narasi populis.

Dengan algoritma yang mendukung viralitas konten, buzzer menggunakan TikTok untuk menciptakan tren dan mengarahkan opini masyarakat tanpa mereka sadari.

Fenomena ini semakin memperlihatkan bahwa buzzer bukan hanya aktor yang bekerja di balik layar, tetapi bagian integral dari strategi politik yang lebih besar.

Sebuah laporan dari Pusat Studi Media dan Demokrasi (PUSDEM) menunjukkan bahwa lebih dari 65% iklan politik di YouTube pada tahun 2020 dipromosikan oleh akun anonim yang terkait dengan buzzer.

Pola ini menunjukkan upaya sistematis untuk mengendalikan narasi publik, menciptakan ilusi bahwa opini yang berkembang di media sosial adalah suara rakyat, padahal kenyataannya, itu adalah hasil dari rekayasa buzzer.

Efek Buzzer pada Demokrasi dan Kebebasan Berpendapat

Dampak jangka panjang dari buzzer tidak hanya terbatas pada manipulasi opini publik, tetapi juga pada kebebasan berpendapat di negara demokrasi. 

Freedom House mencatat penurunan signifikan dalam kebebasan berpendapat di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Serangan siber terhadap jurnalis, aktivis, dan tokoh oposisi semakin meningkat, sering kali dipicu oleh kampanye negatif yang disebarkan oleh buzzer.

Sementara itu, Lembaga Survei Indonesia (LSI) melaporkan bahwa sekitar 60% masyarakat Indonesia merasa takut untuk menyuarakan pendapat politik mereka di media sosial karena khawatir diserang oleh buzzer.

Ini menunjukkan bahwa buzzer tidak hanya merusak debat publik, tetapi juga menciptakan atmosfer ketakutan yang membungkam kritik terhadap pemerintah atau kandidat yang didukung mereka.

Pilkada 2024: Ujian Demokrasi di Era Buzzer dan Populisme

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun