Buzzer memainkan peran krusial dalam Pilkada, terutama dalam membentuk narasi dan opini publik secara digital. Meskipun kampanye resmi baru dimulai pada 25 September hingga 23 November 2024, peran buzzer sudah terasa sejak lama.
Mereka bekerja tidak hanya di platform utama seperti Twitter, Facebook, dan Instagram, tetapi juga di platform berbasis video pendek seperti TikTok.
Dengan lebih dari 109,9 juta pengguna TikTok di Indonesia pada 2023, platform ini menjadi lahan subur untuk menyebarkan video-video politik yang dikemas dengan cerdik dan memikat, sering kali menggunakan humor atau tren musik.
Mengapa buzzer begitu efektif di TikTok? Karena konten video yang pendek dan menarik sangat mudah viral, dan algoritma TikTok mendorong penyebaran konten sesuai dengan minat pengguna.
Buzzer memanfaatkan tren ini untuk menyusup ke dalam feed harian pengguna dengan pesan-pesan politik yang kadang tidak disadari sebagai propaganda.Â
Menurut riset LIPI, konten politik di TikTok sering kali disamarkan dalam bentuk hiburan, tetapi menyebarkan narasi yang sudah diarahkan untuk mempengaruhi opini pemilih.
Studi Kasus: Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Peran Buzzer
Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi salah satu contoh paling gamblang tentang bagaimana buzzer dapat mempengaruhi jalannya demokrasi. Narasi populis dimainkan dengan sangat intens, terutama melalui isu-isu identitas dan agama.
Pada saat itu, tim kampanye kandidat menggunakan buzzer untuk menyebarkan informasi palsu, memprovokasi ketegangan antar kelompok, dan membentuk persepsi negatif terhadap lawan politik.
Kampanye hitam yang dilakukan buzzer ini merusak debat publik yang sehat, menciptakan polarisasi yang tajam di masyarakat, dan memicu ketegangan yang terus terasa hingga sekarang.
Laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa penggunaan buzzer pada Pilkada 2017 tidak hanya mempengaruhi hasil pemilihan, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi.