Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik. Maverick. Freetinker.

Menulis tentang orang adalah perjalanan untuk menemukan keindahan dalam keberagaman. Setiap kisah hidup adalah sebuah karya seni yang layak untuk diabadikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Pilkada 2024: Ancaman Populisme dan Buzzer dalam Demokrasi Kita

25 September 2024   00:46 Diperbarui: 26 September 2024   13:02 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi politik populis (Sumber: KOMPAS/HERYUNANTO)

Pada 27 November 2024 mendatang, Pilkada Serentak akan kembali diselenggarakan di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota di Indonesia.

Sebanyak 1.553 pasangan calon kepala daerah akan berlaga, dengan 37 pasangan calon (paslon) tunggal yang akan menghadapi "kotak kosong"---fenomena yang semakin memperlihatkan pengaruh kekuasaan terhadap dinamika politik lokal.

Dalam suasana demokrasi ini, kita dihadapkan pada tantangan besar: populisme yang terus berkembang dan semakin diperkuat oleh buzzer politik, yang bekerja di balik radar namun memiliki pengaruh signifikan dalam menggiring opini publik.

Populisme di Tengah Pilkada: Narasi 'Pemimpin Rakyat'

Populisme menjadi narasi dominan yang kerap digunakan oleh calon kepala daerah untuk memposisikan diri sebagai 'pemimpin rakyat sejati'.

Pemimpin populis biasanya tampil sebagai sosok karismatik yang menggambarkan dirinya sebagai perwakilan langsung dari rakyat kecil, siap berjuang melawan elit yang dianggap korup dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat.

Di Pilkada 2024 ini, kita tidak akan luput dari narasi-narasi yang memancing emosi dan harapan, terutama di daerah-daerah yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi atau merasa termarjinalkan oleh kebijakan pusat.

Namun, Paul D. Kenny menjelaskan ada dua pendekatan berbeda terhadap populisme: sebagai ideologi yang melekat pada gerakan politik dan sebagai alat atau senjata politik.

Populisme sebagai ideologi mengusung konsep 'kami' melawan 'mereka'---di mana rakyat berjuang melawan segelintir elit. Di sisi lain, populisme sebagai senjata adalah cara para politisi memanfaatkan ketidakpuasan masyarakat untuk meraih kekuasaan, tanpa benar-benar menawarkan solusi konkret.

Dalam Pilkada 2024, populisme sebagai senjata politik terlihat jelas, terutama di daerah-daerah yang rentan. Narasi populis dimanfaatkan untuk menarik simpati dengan memainkan isu-isu lokal yang sensitif, seperti ketimpangan ekonomi, konflik agraria, atau ketidakadilan pelayanan publik.

Tetapi yang membuat narasi populis ini semakin kuat adalah peran buzzer yang memperkuat narasi tersebut di berbagai platform media sosial, termasuk TikTok.

Buzzer: Senjata di Era Digital

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun