Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pola Asuh dan Kesenjangan Sosial: Bayangan Orangtua di Tengah Ketidakpastian Ekonomi

23 September 2024   18:54 Diperbarui: 23 September 2024   21:42 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: istockphoto.com

Pagi di Jakarta selalu sibuk. Di sepanjang jalan-jalan utama, arus kendaraan tak pernah sepi. Mobil-mobil mewah bersisian dengan bus kota yang penuh sesak. Di balik semua itu, ada narasi yang tak terlihat oleh mata---jurang lebar antara mereka yang hidup dalam kemewahan dan yang bertahan dalam keterbatasan. Jurang ini bukan hanya soal pendapatan, tetapi juga soal bagaimana orangtua di berbagai lapisan sosial-ekonomi membesarkan anak-anak mereka.

Di Indonesia, pola asuh tidak pernah hanya sekadar tentang kasih sayang atau peran orangtua dalam mendidik anak-anak. Faktor ekonomi memengaruhi segala hal, mulai dari pilihan pendidikan hingga cara orangtua melihat masa depan anak-anak mereka. Dan di sini, di antara gang-gang sempit di pinggiran Jakarta dan apartemen-apartemen mewah di pusat kota, kisah tentang kesenjangan sosial yang mempengaruhi pola asuh mulai terungkap.

Dua Dunia, Dua Pilihan

Di apartemen mewah di kawasan SCBD, seorang eksekutif muda sibuk mempersiapkan hari-harinya. Dengan dua anak yang masih bersekolah, agendanya dipenuhi dengan kegiatan ekstrakurikuler untuk anak-anaknya. "Anak-anak saya harus siap bersaing," katanya. Mereka terdaftar dalam les privat matematika, kursus piano, hingga pelajaran bahasa Inggris dengan tutor dari luar negeri. "Mereka butuh lebih dari sekadar sekolah. Dunia sekarang lebih kompetitif. Kami harus mempersiapkan mereka sejak dini."

Sebaliknya, Fatimah, seorang ibu dua anak yang tinggal di kawasan Cipinang, berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bekerja sebagai buruh garmen, gaji yang ia terima tidak cukup untuk membayar les atau kursus tambahan bagi anak-anaknya. "Anak-anak saya membantu di rumah sejak kecil," katanya dengan senyum getir. "Tidak ada uang untuk hal-hal seperti bimbingan belajar. Kami hanya fokus pada bagaimana bertahan hidup."

Perbedaan ini bukan sekadar soal pilihan pendidikan. Ini adalah cerminan dari realitas yang mereka hadapi. Orangtua di kelas atas melihat masa depan sebagai sesuatu yang harus dipersiapkan dengan teliti, penuh perencanaan, dan akses tak terbatas pada sumber daya. 

Sedangkan di kelas pekerja, pola asuh lebih banyak terkait dengan kebutuhan dasar: makanan, tempat tinggal, dan bagaimana anak-anak bisa bertahan di tengah ketidakpastian.

Beban Kesenjangan Sosial

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa perbedaan sosial-ekonomi memengaruhi pola pikir orang tua dalam mendidik anak. Bagi keluarga dari kelas menengah atas, pendidikan seringkali menjadi instrumen untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan status sosial mereka. Sekolah internasional dengan kurikulum Cambridge atau IB bukan hanya sekadar pilihan akademik, tetapi juga simbol prestise. Orangtua dari kalangan ini merasa perlu memberikan yang terbaik untuk anak-anak mereka, tidak peduli berapa pun biayanya.

Di sisi lain, bagi keluarga dengan penghasilan rendah, pendidikan sering kali dipandang sebagai satu-satunya jalan keluar dari kemiskinan. Namun, kenyataan berkata lain: biaya pendidikan berkualitas seringkali tidak terjangkau. Fatimah, misalnya, hanya bisa berharap anak-anaknya bisa menyelesaikan sekolah menengah. "Saya ingin mereka bisa sekolah setinggi mungkin, tapi uang selalu menjadi masalah," ungkapnya.

Anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah juga menghadapi tantangan lain. Mereka sering dipaksa untuk tumbuh dewasa lebih cepat, dengan beban tanggung jawab yang lebih besar di rumah. Tugas-tugas rumah tangga, membantu ekonomi keluarga, dan terkadang bekerja paruh waktu adalah bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. Bagi keluarga seperti Fatimah, pola asuh bukan hanya tentang kasih sayang, tetapi juga tentang kelangsungan hidup.

Strategi Bertahan Hidup

Ketidaksetaraan dalam pola asuh ini mencerminkan realitas keras yang dihadapi keluarga-keluarga di Indonesia. Bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, fokus utama adalah bertahan hidup. Orangtua dari latar belakang ekonomi rendah sering kali mengajarkan anak-anak mereka untuk mengatasi kesulitan sejak usia dini. "Kamu harus belajar bertahan. Kehidupan ini keras," pesan yang disampaikan oleh para orangtua seperti Fatimah kepada anak-anaknya.

Di kelas pekerja, anak-anak diajarkan bahwa ketidakpastian adalah bagian dari hidup. Mereka harus bisa beradaptasi dengan situasi sulit, belajar bekerja keras, dan menghadapi kenyataan pahit bahwa tidak semua mimpi dapat diwujudkan. Pola asuh ini berpusat pada survival---bagaimana anak-anak bisa mandiri lebih cepat dan membantu keluarga.

Di sisi lain, keluarga kelas atas lebih memusatkan perhatian pada pengembangan soft skills---kemampuan berkomunikasi, berpikir kritis, bekerja sama, dan kreatif. Orang tua dari kelas menengah atas seringkali menanamkan pada anak-anak mereka gagasan tentang kesuksesan yang lebih besar dan pilihan yang lebih luas. Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai kebutuhan dasar, tetapi sebagai jalan untuk mencapai keunggulan kompetitif.

Seorang ibu dari kawasan Menteng yang memilih untuk tidak disebutkan namanya, menyatakan, "Kami ingin anak-anak kami memiliki masa depan yang lebih baik dari kami. Dunia sekarang berbeda; mereka harus memiliki keterampilan yang berbeda dari generasi kami." Pendidikan bagi keluarga kelas atas adalah sebuah investasi jangka panjang.

Psikologi di Balik Ketidaksetaraan

Namun, ada harga yang harus dibayar. Bagi anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah, stres akibat ketidakpastian ekonomi seringkali berujung pada tekanan psikologis yang mendalam. 

Dalam banyak kasus, anak-anak ini dibesarkan dalam lingkungan yang penuh dengan tuntutan dan keterbatasan. Rasa cemas terhadap masa depan, ditambah dengan beban untuk segera bekerja demi membantu keluarga, menciptakan siklus yang sulit diputus. Banyak dari mereka merasa terjebak dalam lingkaran kemiskinan.

Dr. Widyastuti, seorang sosiolog dari Universitas Indonesia, menyoroti dampak psikologis ini. "Kita tidak hanya berbicara tentang kesenjangan ekonomi. Kesenjangan dalam pola asuh juga memiliki dampak yang mendalam terhadap psikologi anak-anak. Anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah cenderung merasa bahwa mereka memiliki lebih sedikit kesempatan. Ini membentuk cara mereka memandang diri mereka sendiri dan masa depan mereka."

Bagi anak-anak dari kelas atas, meskipun mereka memiliki akses yang lebih baik terhadap pendidikan dan peluang, tekanan untuk berprestasi bisa sama besarnya. Dengan ekspektasi tinggi dari orangtua dan persaingan yang ketat di sekolah-sekolah elit, banyak dari mereka menghadapi tekanan emosional yang signifikan.

Mencari Jalan Tengah

Meski demikian, tidak semuanya suram. Ada upaya untuk mengatasi kesenjangan ini, terutama melalui program-program beasiswa dan inisiatif pemerintah untuk menyediakan pendidikan berkualitas bagi semua kalangan. 

Program-program seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Gerakan Indonesia Mengajar telah memberikan kesempatan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk mengakses pendidikan yang lebih baik. Selain itu, sejumlah LSM juga berperan dalam memberikan bimbingan dan dukungan kepada keluarga berpenghasilan rendah.

Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, di mana setiap anak, terlepas dari latar belakang sosial-ekonominya, memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang. Fatimah dan ribuan orangtua lainnya hanya bisa berharap bahwa perubahan ini akan datang lebih cepat.

Saat hari mulai berakhir, Fatimah duduk di depan rumahnya, memandangi anak-anaknya yang tengah bermain di gang kecil. "Saya ingin mereka punya masa depan yang lebih baik. Tapi kadang-kadang, saya merasa masa depan itu terlalu jauh dari jangkauan," katanya pelan.

Kata-kata Fatimah mungkin mewakili jutaan keluarga lainnya di Indonesia. Di tengah ketidakpastian ekonomi, mereka terus berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak mereka. Meskipun jurang antara mimpi dan kenyataan semakin lebar, harapan selalu menjadi satu-satunya hal yang tersisa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun