Di sisi lain, keluarga kelas atas lebih memusatkan perhatian pada pengembangan soft skills---kemampuan berkomunikasi, berpikir kritis, bekerja sama, dan kreatif. Orang tua dari kelas menengah atas seringkali menanamkan pada anak-anak mereka gagasan tentang kesuksesan yang lebih besar dan pilihan yang lebih luas. Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai kebutuhan dasar, tetapi sebagai jalan untuk mencapai keunggulan kompetitif.
Seorang ibu dari kawasan Menteng yang memilih untuk tidak disebutkan namanya, menyatakan, "Kami ingin anak-anak kami memiliki masa depan yang lebih baik dari kami. Dunia sekarang berbeda; mereka harus memiliki keterampilan yang berbeda dari generasi kami." Pendidikan bagi keluarga kelas atas adalah sebuah investasi jangka panjang.
Psikologi di Balik Ketidaksetaraan
Namun, ada harga yang harus dibayar. Bagi anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah, stres akibat ketidakpastian ekonomi seringkali berujung pada tekanan psikologis yang mendalam.Â
Dalam banyak kasus, anak-anak ini dibesarkan dalam lingkungan yang penuh dengan tuntutan dan keterbatasan. Rasa cemas terhadap masa depan, ditambah dengan beban untuk segera bekerja demi membantu keluarga, menciptakan siklus yang sulit diputus. Banyak dari mereka merasa terjebak dalam lingkaran kemiskinan.
Dr. Widyastuti, seorang sosiolog dari Universitas Indonesia, menyoroti dampak psikologis ini. "Kita tidak hanya berbicara tentang kesenjangan ekonomi. Kesenjangan dalam pola asuh juga memiliki dampak yang mendalam terhadap psikologi anak-anak. Anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah cenderung merasa bahwa mereka memiliki lebih sedikit kesempatan. Ini membentuk cara mereka memandang diri mereka sendiri dan masa depan mereka."
Bagi anak-anak dari kelas atas, meskipun mereka memiliki akses yang lebih baik terhadap pendidikan dan peluang, tekanan untuk berprestasi bisa sama besarnya. Dengan ekspektasi tinggi dari orangtua dan persaingan yang ketat di sekolah-sekolah elit, banyak dari mereka menghadapi tekanan emosional yang signifikan.
Mencari Jalan Tengah
Meski demikian, tidak semuanya suram. Ada upaya untuk mengatasi kesenjangan ini, terutama melalui program-program beasiswa dan inisiatif pemerintah untuk menyediakan pendidikan berkualitas bagi semua kalangan.Â
Program-program seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Gerakan Indonesia Mengajar telah memberikan kesempatan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk mengakses pendidikan yang lebih baik. Selain itu, sejumlah LSM juga berperan dalam memberikan bimbingan dan dukungan kepada keluarga berpenghasilan rendah.
Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, di mana setiap anak, terlepas dari latar belakang sosial-ekonominya, memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang. Fatimah dan ribuan orangtua lainnya hanya bisa berharap bahwa perubahan ini akan datang lebih cepat.
Saat hari mulai berakhir, Fatimah duduk di depan rumahnya, memandangi anak-anaknya yang tengah bermain di gang kecil. "Saya ingin mereka punya masa depan yang lebih baik. Tapi kadang-kadang, saya merasa masa depan itu terlalu jauh dari jangkauan," katanya pelan.
Kata-kata Fatimah mungkin mewakili jutaan keluarga lainnya di Indonesia. Di tengah ketidakpastian ekonomi, mereka terus berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak mereka. Meskipun jurang antara mimpi dan kenyataan semakin lebar, harapan selalu menjadi satu-satunya hal yang tersisa.