Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Toxic Positivity: Penyakit Mental Abad 21

23 September 2024   16:23 Diperbarui: 23 September 2024   16:31 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah hiruk-pikuk era digital yang dipenuhi dengan potret kebahagiaan di media sosial, ada satu fenomena yang kian meresahkan: toxic positivity.

Sebuah konsep yang, ironisnya, memaksa kita untuk selalu merasa bahagia, bahkan di saat kehidupan tidak berjalan mulus. Alih-alih menerima kenyataan bahwa manusia memiliki spektrum emosi yang luas---termasuk sedih, kecewa, dan marah---kita justru didorong untuk menutupi perasaan-perasaan tersebut demi satu tujuan yang tampaknya sakral: kebahagiaan.

Sebagai bangsa yang akrab dengan ungkapan "sabar ya," kita sering terjebak dalam pola pikir bahwa kebahagiaan adalah satu-satunya tujuan hidup.

Namun, di balik senyum palsu yang sering kita tunjukkan di hadapan orang lain, ada realitas emosional yang diabaikan. Bagaimana kita sampai pada titik di mana menutupi rasa sakit dianggap lebih mulia daripada memahaminya?

Tentang Obsesi Kebahagiaan

Obsesi terhadap kebahagiaan bukanlah hal baru. Di Barat, terutama setelah Perang Dunia II, kebahagiaan mulai dipromosikan sebagai "hak setiap individu." Laporan oleh PBB di tahun 2012 tentang Indeks Kebahagiaan Dunia seakan menegaskan bahwa kebahagiaan adalah tolok ukur kesejahteraan suatu negara. Namun, benarkah demikian?

Di Indonesia, fenomena ini tidak lepas dari pengaruh budaya pop global. Sinetron dan iklan memotret hidup sempurna tanpa cela, dengan bahagia sebagai tujuan utama. Tapi seperti yang diungkap oleh studi Iris Mauss dari University of California, upaya berlebihan untuk terus merasa bahagia justru berpotensi menimbulkan depresi. Menurut Mauss, orang yang terobsesi dengan kebahagiaan cenderung lebih kecewa dengan hidup mereka, bahkan ketika tidak ada tekanan besar.

Bahagia Itu Tidak Sederhana, Tapi Harus Diupayakan

Bahagia sering kali digambarkan sebagai sesuatu yang sederhana: hanya perlu bersyukur, berpikir positif, dan fokus pada hal-hal baik. Namun kenyataannya, kebahagiaan tidak selalu sesederhana itu. Seperti yang diungkapkan oleh Sonja Lyubomirsky, seorang psikolog yang meneliti tentang kebahagiaan, kebahagiaan memerlukan upaya aktif. Ini termasuk memahami emosi kita secara jujur, menghadapi tantangan dengan keberanian, dan tidak menghindari rasa sakit.

Namun, di dalam dunia yang terus meneriakkan pentingnya berpikir positif sepanjang waktu, sering kali kita melupakan bahwa kebahagiaan juga memerlukan keseimbangan---antara mengakui kesedihan dan mencari makna di dalamnya. Kebahagiaan yang nyata tidak datang dari mengabaikan masalah, melainkan dari proses yang kompleks dan sering kali tidak mudah.

Kebahagiaan sebagai Beban

Kenyataannya, kebahagiaan telah berubah menjadi beban bagi banyak orang. Kita dibanjiri oleh mantra "berpikir positif" dan "visualisasi kesuksesan." Buku-buku seperti The Power of Positive Thinking karya Norman Vincent Peale telah mengajarkan bahwa memvisualisasikan kebahagiaan akan membawa kita ke sana. Namun, penelitian oleh Prof. Gabriele Oettingen dari New York University menemukan hasil sebaliknya: terlalu banyak berfantasi tentang kebahagiaan justru menimbulkan rasa puas diri yang tidak sehat.

Jika kita membayangkan kebahagiaan sebagai sebuah garis finis, kita akan selalu merasa kurang. Seperti balapan tanpa akhir, kita terpacu untuk terus mengejar lebih banyak kebahagiaan, sementara kepuasan hidup yang sederhana malah diabaikan. Padahal, kebahagiaan tidak selalu datang dalam bentuk euforia besar. Banyak dari kita lupa bahwa kebahagiaan juga bisa ditemukan dalam momen kecil, seperti secangkir kopi di pagi hari atau percakapan singkat dengan seorang teman.

Menghadapi Rasa Sakit: Sebuah Alternatif yang Sehat

Mungkin sudah waktunya kita berhenti mengejar kebahagiaan dan mulai menerima kenyataan bahwa rasa sakit, kecewa, dan sedih adalah bagian dari hidup. Psikolog klinis seperti Susan David dalam bukunya Emotional Agility menyarankan agar kita tidak menghindari emosi negatif, tetapi justru memahaminya. Rasa marah atau kecewa sering kali menjadi sinyal bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam hidup kita. Mengabaikannya hanya akan menumpuk stres.

Di Indonesia, kita sering mendengar nasihat "bersabar" atau "ikhlas" dalam menghadapi cobaan. Namun, ada perbedaan antara menerima realitas dengan lapang dada dan menekan emosi negatif demi penampilan bahagia. Menerima bahwa hidup tak selalu mudah, dan bahwa kesedihan adalah bagian dari perjalanan, adalah langkah pertama untuk meraih kedamaian batin yang lebih autentik.

Pelajaran dari Masa Pandemi

Pandemi COVID-19 memberi kita pelajaran penting. Saat dunia dipaksa berhenti sejenak, banyak dari kita mengalami perasaan campur aduk: ketidakpastian, kecemasan, bahkan kehilangan. Dalam kondisi seperti ini, tuntutan untuk tetap bahagia menjadi absurd. Justru di masa sulit, penting untuk menerima kenyataan bahwa kita tidak selalu bisa merasa baik-baik saja. Sebuah studi di Inggris yang dipublikasikan oleh Dr. Julia Vogt menemukan bahwa upaya berlebihan untuk merasa bahagia selama masa pandemi hanya membuat orang semakin cemas akan waktu yang terbuang.

Kehidupan bukanlah kompetisi untuk mencapai puncak kebahagiaan. Justru, saat kita berhenti mengejarnya, kita mungkin menemukan kedamaian dalam menerima hidup sebagaimana adanya---dengan semua kegetiran dan kesenangan yang menyertainya.

Menyusun Ulang Harapan

Berhenti mengejar kebahagiaan bukan berarti menyerah pada kehidupan. Sebaliknya, ini adalah upaya untuk menyusun ulang harapan kita tentang apa itu hidup yang bermakna. Mengutip pepatah lama, "Siapkan diri untuk yang terburuk, harapkan yang terbaik, dan terima apa yang ada di antaranya." Kita harus merangkul dan berdamai dengan kenyataan bahwa rasa frustrasi, marah, atau kecewa adalah bagian alami dari kehidupan.

Kebahagiaan, jika ia datang, seharusnya menjadi bonus, bukan tujuan. Dengan membebaskan diri dari tekanan untuk selalu bahagia, kita mungkin akan menemukan bahwa ketenangan batin datang justru saat kita paling tidak mengharapkannya. Kita tidak perlu mengejar kebahagiaan seperti mengejar bayangan---mungkin, kebahagiaan sejati adalah hasil dari menerima hidup dalam segala kompleksitasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun