Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Toxic Positivity: Penyakit Mental Abad 21

23 September 2024   16:23 Diperbarui: 23 September 2024   16:31 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Indonesia, kita sering mendengar nasihat "bersabar" atau "ikhlas" dalam menghadapi cobaan. Namun, ada perbedaan antara menerima realitas dengan lapang dada dan menekan emosi negatif demi penampilan bahagia. Menerima bahwa hidup tak selalu mudah, dan bahwa kesedihan adalah bagian dari perjalanan, adalah langkah pertama untuk meraih kedamaian batin yang lebih autentik.

Pelajaran dari Masa Pandemi

Pandemi COVID-19 memberi kita pelajaran penting. Saat dunia dipaksa berhenti sejenak, banyak dari kita mengalami perasaan campur aduk: ketidakpastian, kecemasan, bahkan kehilangan. Dalam kondisi seperti ini, tuntutan untuk tetap bahagia menjadi absurd. Justru di masa sulit, penting untuk menerima kenyataan bahwa kita tidak selalu bisa merasa baik-baik saja. Sebuah studi di Inggris yang dipublikasikan oleh Dr. Julia Vogt menemukan bahwa upaya berlebihan untuk merasa bahagia selama masa pandemi hanya membuat orang semakin cemas akan waktu yang terbuang.

Kehidupan bukanlah kompetisi untuk mencapai puncak kebahagiaan. Justru, saat kita berhenti mengejarnya, kita mungkin menemukan kedamaian dalam menerima hidup sebagaimana adanya---dengan semua kegetiran dan kesenangan yang menyertainya.

Menyusun Ulang Harapan

Berhenti mengejar kebahagiaan bukan berarti menyerah pada kehidupan. Sebaliknya, ini adalah upaya untuk menyusun ulang harapan kita tentang apa itu hidup yang bermakna. Mengutip pepatah lama, "Siapkan diri untuk yang terburuk, harapkan yang terbaik, dan terima apa yang ada di antaranya." Kita harus merangkul dan berdamai dengan kenyataan bahwa rasa frustrasi, marah, atau kecewa adalah bagian alami dari kehidupan.

Kebahagiaan, jika ia datang, seharusnya menjadi bonus, bukan tujuan. Dengan membebaskan diri dari tekanan untuk selalu bahagia, kita mungkin akan menemukan bahwa ketenangan batin datang justru saat kita paling tidak mengharapkannya. Kita tidak perlu mengejar kebahagiaan seperti mengejar bayangan---mungkin, kebahagiaan sejati adalah hasil dari menerima hidup dalam segala kompleksitasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun