Saat membahas pacaran di usia remaja, banyak orang tua dihadapkan pada dilema klasik: kapan anak boleh mulai menjalin hubungan asmara?
Pertanyaan ini kerap menghantui, terutama di era digital di mana interaksi sosial dan romantis bisa terjadi dengan lebih cepat dan mudah.
Namun, jauh sebelum media sosial ada, generasi sebelumnya sudah membentuk opini kuat bahwa pacaran di usia dini adalah gangguan---sebuah distraksi yang menggau fokus utama, yakni pendidikan dan pencarian jati diri.
Banyak dari kita mungkin menganggap ini sebagai pendekatan kuno, namun jika kita telaah lebih dalam, pemikiran ini memiliki dasar yang kuat.
Orang tua dulu sering memperingatkan bahwa cinta di usia muda bisa membebani emosi, memunculkan drama yang tidak perlu, dan dalam banyak kasus, berakhir dengan patah hati yang mengganggu proses tumbuh kembang anak.
Mengapa Pacaran di Usia Muda Bisa Menjadi Distraksi?
Pacaran di usia praremaja dan remaja awal sering kali membawa lebih banyak tantangan daripada manfaat.
Seperti yang dikemukakan oleh psikolog klinis Lisa Damour, PhD, dalam bukunya Untangled, anak-anak yang mulai merasakan ketertarikan romantis pada usia 10 hingga 13 tahun sering kali belum memiliki kapasitas emosional untuk menavigasi kompleksitas hubungan tersebut.
Hal ini tidak berarti mereka tidak boleh merasakan cinta atau tertarik pada lawan jenis, tetapi pemahaman mereka tentang apa itu cinta sering kali masih sangat terbatas dan belum matang.
Bagi remaja, pacaran lebih sering menjadi soal status sosial daripada hubungan yang benar-benar sehat.
Justine Ang Fonte, seorang pendidik kesehatan asal New York, menjelaskan bahwa banyak remaja memandang pacaran sebagai sarana untuk mendapatkan pengakuan di antara teman-teman mereka.