Presiden Joko Widodo mencoba meredakan kekhawatiran dengan menjelaskan bahwa pasir yang diekspor bukan pasir laut secara umum, melainkan sedimen laut yang mengganggu jalur navigasi kapal.
Sedimen ini, meskipun secara bentuk menyerupai pasir, dianggap berbeda dan oleh karenanya dibolehkan untuk diekspor. Namun, bagi masyarakat yang terdampak, perbedaan ini terasa tipis.
Pasir atau sedimen, keduanya diambil dari laut dan keduanya memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan alam.
Meskipun pemerintah berusaha membedakan antara pasir dan sedimen, kenyataan di lapangan tetap menunjukkan dampak negatif yang sama terhadap ekosistem laut.
Setiap kali material ini diambil, ekosistem pesisir kehilangan bagian penting dari dirinya, yang secara perlahan tetapi pasti akan mempercepat kerusakan lingkungan di wilayah tersebut.
Melawan Kebijakan yang Tidak Berpihak pada Alam
Dalam konteks perubahan iklim yang semakin nyata, keputusan untuk membuka ekspor pasir laut, apapun bentuk materialnya, adalah langkah mundur yang meresahkan.
Susi Pudjiastuti dengan benar menunjukkan bahwa perubahan iklim sudah memberi dampak yang cukup besar pada wilayah pesisir Indonesia.
Naiknya permukaan air laut, diperparah oleh abrasi pantai, telah menyebabkan ribuan hektar daratan hilang dan membuat ribuan orang kehilangan mata pencaharian.
Dengan penambangan pasir laut yang terus berlanjut, masalah ini hanya akan semakin parah. Daratan yang seharusnya dipertahankan untuk melindungi masyarakat dari dampak abrasi justru dieksploitasi dan dijual ke luar negeri.
Padahal, pasir tersebut bisa digunakan untuk proyek-proyek rehabilitasi pantai, membangun tanggul-tanggul alami yang bisa memperlambat laju abrasi.
Pilihan Ekspor atau Kebutuhan Lokal
Pemerintah mengklaim bahwa ekspor pasir dan sedimen dapat memberikan pemasukan ekonomi yang signifikan.